Sabtu, 13 Desember 2014

Longsor "Jemblung" di Bali?,



“MUNGKINKAH  BENCANA “JEMBLUNG” TERJADI DI BALI?”

Oleh : I Putu Pudja

Penanganan Longsor di Bali ( www.google.com)
Musim hujan yang sudah lama ditunggu di tengah musim kemarau yang panjang dan lebih panas tahun ini, ternyata membawa duka yang mendalah, Musim hujan yang ditunggu mentebabkan bencaran alam tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Korban yang ditimbulkannya memang belum final, baru 20 orang korban berhasil di temukan di timbunan lumpur dan longsoran. Namun bila melihat kesulitan medan dan areal longsoran yang berukuran sekitar 600 m x 200 m x 75 m diperkirakan korban akan bertambah jumlahnya sejalan dengan upaya pencarian.
Melihat historical data setempat yang merupakan daerah dengan kemiringan tinggi, delapan tahun yang lalu 2006 di daerah yang hanya berjarak 8 km menyusuri jalan dan jarak langsung hanya beberapa kilometer, maka daerah itu memang merupakan daerah yang sangat berpotensi longsor.
Potensi longsor akibat kemiringan daerah tersebut, sehingga lapisan tanah atau batuan didaerah tersebut akan mengikuti kemrinagn tersebut. Daerah kemiringan akan lebih mudah meluncur saat massa air menyusup mengisi dan merusak kohesifitas batuan tersebut yang sudah retak-retak terdeformasi. Hanya saja lebih banyak krak yang tidak terlihat kaat mata kebanding dengan yang terlihat berupa retakan di permukaan.
Deformasi terjadi akibat kuatnya gaya tektonik yang bekerja yang menghujam segmen Jawa Tengah. Diperlihatkan olhe banyaknya terkadi gempa bumi terutama di arah barat daya Cilacap, demikian juga tersebar merata kearah timur sampai selatan Kali Opak dan Gunung Kidul Wonosari. Salah satu yang yang paling melekat diingatak kita adalah Gempabumi yang terjadi di barat daya Cilacap adalah gempabumi yang merusak di Kabupaten Kebumen; Gempa bumi yang berpusat diselatan Jogyakarta, merupakan gempabumi yang merusak di daerah Bantul dan sekitarnya, serta gempabumi yang eicu tsunami di Pangandaran semuanya merupakan manifestasi bekerja dengan intens gaya tektonik nebfhujan segmen Jawa Tengah.
Akibat gaya ini maka lapisan terutama lapisan yang kurang kuat seperti lapisan dipermukaan akan sangat mudah terdeformasi. Karena aktipitas tektonik inipun kemudian menyebabkan mengaktipnya beberapa gunung api di Jawa Tengah, sebut saja Nerapi yang memang terus terusan aktip, belakngan kita ikuti aktipitas meningkat dari Gunung Slamet dan Gununbg Merbabu. Aktipitras gunung api nipun menyebabkan deformasi (kerusakan) pada lapisan kulit bumi akibat desaan material magma dan gas dari dapur magma, pada lapisan kulitbumi Jawa Tengah, sehingga deformasi yang terjadi semakin parah.
Kondisi inilah yang memacu longsor lebih mudah terjadi. Rekahan –krak- pada lapisan atas kulit bumi akan mudah disusupi air, dan pengisian pori-pori semakin intens. Massa lapisan meningkat, kohesi berkurang serta menurunnya friki menyebabkan sangat mudah terjadi longsor pada lapisan yang lunak dan berat terisi air. Nah itulah proses yang terjadi di Jemblung.
Meemperhatikan proses yang terjadi di Jawa Tengah dan berdampak bencana tanah longsor Jemblung rupanya menginspirasi BPBD di daerah Bali –BPBD Badung- untuk menerapkan tahap siaga selama puncak musim hujan (Desember 2014 – Januari 2015) ini. Merupakan langkah antisipasi yang baik, tapi seharusnya tidak berlebihan.
Belakangan ini memang beberapa kali dirasakan gempa dengan intensitas yang relative sangat kecil I – II MMI di daerah Kuta, Nusa Dua, namun tidak untk daerah lain. Dirasakannya di Nusa Dua sangat mungkin karena perkuatan sinyal gempa didaerah ini mudah terasakan karena sepi di malam hari dan fondasinya batu kapur yang memang sangat bagus meneruskan gelombang gempa. Tidak ada tanda-tanda aktipitas gunung api di daerah Bali dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun posisi dengan kemiringan banyak dijumpai di sepanjang poros jalan penghubung Bali Selatan dan Bali Utara, maupun di daerah Bali Timur.
Melihat kondisi ini, maka tanah longsor memang perlu diwaspadai terlebih musim kemarau yang terjadi tahun ini sangat panjang dan panas, sehingga pelapukan karena cuaca pada lapisan tanah permukaan sangat mungkin terjadi. Namun deformasi yang merusak menjadikan rekahan di lapisan permukaan tanah Bali kelihatannya tidak terlalu intens, baik proses tektonik maupun volkanik yang cenderung tanang untuk beberapa tahun belakangan ini.
Bila kita menganalogkan proses fisis yang mengakibatkan bencana longsor di Jemblung dan diproueksikan dengan kondisi di Bali, maka sangat kecil kemungkinan bencana tanah longsor yang sebesar Jemblung terjadi di Bali. Kalaupun terjadi longsor sangat mungkin akan memiliki skala skala yang kecil, longsor tebing karena kerusakan lingkungan atau karena beban pepohonan yang tidak terawatt oleh masyarakat.
Mengantisipasi hal itu maka apa yang dilakukan BPBD Kabupaten Badung merupakan langkah antisipatif yang tepat. Namun BPBD sebaiknya memberikan pembelajaran kepada masyarakat di daerah yang rentan bencana, apalagi diinformasikan instansi tersebut telah memiliki peta kerentanan bencana. Masyarakat setempat diajak memitigasi dan mengantisipasi dengan memberikannya penyuluhan, sosialisasi, pembelajaran –entah apa namanya- agar mereka menjadi masyarakat sadar bencana, tahu bagaimana memitigasi bagaimana merawat lahan dikemiringan, dimana mereka boleh bermukim, bagaimana ciri-ciri akan terjadi longsor, peristiwa apa saja yang dapat mendahuluinya dan lain sebagainya termasuk peta jalan untuk mengungsi dan evakuasi sudah dipersiapkan dengan baik. Jangan sampai mereka pergi menyelamatkan diri malah melalui atau menuju daerah yang lebih berbahaya.
Dalam memasuki puncak musim hujan 2014-2015 ini, dikaitkan dengan tanah longsor potensi tanah longsor memang ada di Bali, umumnya sudah diketahui masyarakat karena kejadiannya tak akan jauh dari lokasi yang pernah terjadi, hanya saja potensi untuk terjadi bencana seperti yang terjadi di Jemblung Banjarnegara, peluangnya sangat kecil.  Langkah BPBD yang menerapkan level siaga bagi aparatnya selama puncak musim hujan ini merupakan langkah yang tepat,  hanya perlu dikemas agar tidak kelihatan berlebihan.
Penulis : Dosen Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar