Jumat, 04 Agustus 2017

Banjir Melanda Jayapura, Kok Bisa/



FAKTOR  UTAMA DALAM BANJIR DI SEKITAR JAYAPURA

Oleh : I Putu Pudja

 Image result for Banjir Jayapura

 Banjir 3 Agustus 2017




Kamis, 3 Agustus 2017 lalu dilanda banjir, dengan konsentrasi banjir di daerah Entrop, daerah Perkantoran Otonom Kotaraja, dan daerah Komplek Perumahan Organda. Mengingatkan penulis akan nyamannya kota Jayapura, dimana penulis pernah bermukim sepanjang periode 1991 – 2000. Ketika itu dapat dikatakan belum pernah mendengar kata banjir, paling ada genangan air liar di jalan raya selama hujan lebat, karena saluran tertutup oleh sampah, atau pohon yang tumbang.
Banjir kali ini menurut informasi dari Kantor BMKG Wilayah V Jayapura, karena adanya hujan lebat yang cukup lama lebih dari 4 jam sekak pl 03 00 pagi, sehingga volume air permukaan menjadi meningkat. Kejadian itu terjadi karena berkembangnya daerah tekanan rendah yang menjadi pumpunan angin kaya uap air di perairan utara Papua. Konsentrasi awan sampai di atas wilayah Jayapura sehingga hujan menjadi lebat dan lama.
Ditinjau dari topografi Jayapura yang bergunung dan berbukit di tepian laut, seharusnya banjir susah terjadi karena aliran air akan segera ke laut. Sehingga pasti ada yang salah dengan pembangunan di daerah itu. Yang menyebabkan air sulit mengalir ke daerah lepas yaitu laut.
Kota Jayapura tidak beda dengan kota kota lainnya di Indonesia. Terlebih setelah terjadi pemekaran wilayah, mudahnya transportasi ke sana menjadikannya sebagai kota urban, untuk mendapatkan pekerjaan baik sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri.
Semuanya itu membawa konskuensi kebutuhan pemukiman, kebutuhan perkantoran, kebutuhan sentra sentra perekonomian, sehingga pusat perkantoran, pusat pertokoan, kawasan pemukiman baru semakin marak berdiri disana.
Bila memperhatikan ketiga daerah banjir di Jayapura semuanya merupakan daerah pengembangan baru, yang dulunya merupakan daerah aliran air dan daerah terminasi air, sebagai rawa ataupun daerah rendah, yang sebelumnya dihindari oleh masyarakat. Daerah Entrop sebelumnya merupakan daerah rawa, daerah payau bertemunya air tawar dari permukaan dengan air laut Teluk Jayapura; Kawasan Perkantoran Otonom dulunya sebagai rawa dengan hutan sagu sebagai lumbung ‘padi’ nya masharakat setempat, sebagai daerah terminasi air yang mengalir turun dari pegunungan cyclop lereng selatan menuju laut, dan Perumahan Organda dulunya merupakan daerah rendah sebagai tempa lalu dan terserapnya air permukaan karena daerahnya merupakan sedimen, yang mudah menyerap air dan sebagian merupakan rawa.
Di ketiga lokasi banjir itu telah terjadi pergeseran peruntukan lahan. Serapan, lahan airan menjadi daerah pemukiman, perkantoran maupun sentra perekonomian. Bahkan fungsi sarana aliran air pun dilupakan oleh oengembang, yang menguruk daerah tersebut dalam pengembangannnya. Perubahan ini menyulitkan penyerapan dan pengaliran air ke laut, terlebih setelah ditutupi dengan beton atau jalan aspal.
Dalam kondisi cuaca ektrim, hujan lebat yang berkepanjangan menjadikannya air permukaan yang berlebih sulit mencari pelepasan laut bebas. Jangankan sampai laut bebas, daerah alirannyapun cenderung sudah diuruk ditinggikan, sehinga potensial air dalam alirannya menjadi berhenti di daerah tersebut sebagai cikal bakal banjir.
Satu-satunya jalan untuk mengantisipasi banjir berikutnya mengingat susahnya lahan di Jayapura untu daerah yang rendah, perlu dalam pengembangan drainase juga harus tetap dipikirkan dengan volume tampungan yang tidak berbeda dengan kemampuan aliran sebelum dikembangkan. Dibuatkan jalan air menuju laut.
Karena memang upaya ini sangat mahal, sehingga peran Pemerintah Daerah untuk bersinergi mengembangkan wilayah sangat diperlukan. Hal itu menurut penulis bisa dilakukan oleh pemda Papua, dalam menjaga kelestarian Papua, dan mengindarkan penduduknya dari ancaman banjir.

Bintaro, 5 Agustus 2017

Senin, 17 April 2017

Berakhirnya Periode Senyap Seismik



“GEMPA-GEMPA BALI DAN BERAKHIRNYA PERIODE SENYAP SEISMIK”

Oleh : I Putu Pudja.

Masyarakat Bali Selatan belakangan ini, semakin sering merasakan getaran gempabumi, dengan intensitas yang bervariasi. Terakhir gempabumi  dengan kekuatan 3,5 SR yang dirasakan walau tidak cukup keras adalah: 1) gempabumi hari Sabtu, 8 April 2017  dinihari, pk 02 32 00 WITA.  Dengan posisi pusat gempa pada 9,46 LS – 117,23 BT pada kedalaman 25 km, posisi sekitar 69 km tenggara Sumbawa Barat. Dua gempa sebelumnya adalah Gempabumi pada : 2). Pada 22 Maret 2017, pk 07 10 27 WITA, dengankekuatan M = 6,4 SR pusat genpa pada : 8,88 LS – 115,24 BT, sekitar 23 km tenggara Denpasar. Pada kedalaman 117 km. Getaran gempa ini terasakan dari Lombok, Bali Selatan sampai Malang,  pada kisaran III – IV  Skala MMI;3). Pada 6 April 2017, pk 13 44 12 WITA. Gempa dengan kekuatan M=4,4 SR dengan pusat gempabumi pada 9,26 LS – 115,49 BT pada kedalaman 76 km. Posisi ini sekitaran 59 km barat daya Kelungkung. Dirasakan II – III Skala MMI.
Bila kita perhatikan ketiga gempa itu merupakan gempabumi yang berpusat di laut selatan Bali. Ini menunjukkan bahwa daerah Bali yang masi eksis sebagai daerah yang rawan terhadap ancaman gempabumi, dari daerah sumber gempa yang kita kenal sebagai zone subdaksi pertemuan antara lempeng tektonik Indo-Australia yang menyusup sebagai lempeng samudera, kebawah lempeng tektonik Eurasia sebagai lempeng kontinen.
Kejadian ini sangat menarik bila dilihat dari perkembangan seismisitas daerah sepanjang selatan Jatim – Sumbawa. Apakah kondisi ini membahayakan ataukah menguntungkan Bali dari segi dampak gempabumi yang mungkin terjadi di daerah ini, mengingat di sepanjang daerah ini mempunyai sejarah kegempaan yang unik, pernah terjadi gempa besar dan juga pernah terjadi gempa disertai tsunami: gempa Sumbawa dan Gempa Banyuwangi.
DAERAH SENYAP SEISMIK
Para seismolog sudah sejak lama memperhatikan daerah aktip gempabumi sepanjang selatan Jawa Timur – Sumbawa. Karena didaerah ini sudah cukup lama lebih dari 25 tahun setelah gempa dan tsunami Banyuwangi belum pernah terjadi gempabumi besar, sehingga daerah ini ditandai dengan daerah ‘seismic gap’ atau daerah senyap seismic. Beberapa teori menengarai untuk daerah yang demikian terjadi penumpukan energi gempa di daerah tersebut yang akan siap di lepas di kemudian hari. Semakin lama senyap seismic ini secara teoritis akan semakin lama menumpuk energi sehingga energi gempa yang diperkirakan akan terjadi akan semakin besar.
Daerah yang demikian bisa kita lihat pada peta seismisitas merupakan daerah yang kosong dengan pusat gempa. Dengan seringnya terjadi gempabumi khususnya pada segmen selatan Bali, dari teori akumulasi energi sangat menguntungkan. Karena energi yang terkumpul dilepaskan secara perlahan, waktu demi waktu yang menjadikan akumulasi energinya tidak mencapai tinggi sekali.
Sehingga daerah Bali sebenarnya diuntungkan dengan seringnya gempa yang terasakan masyarakat, yang menunjukkan daerah senyap seismic telah menunjukkan aktifitasnya, dan melepas energi dengan mencicil.
Bila memperhatikan kekuatan gempa yang terjadi antara 2,5=<M=< 6,4 Skala Richter menunjukkan bahwa akibat penumpukan energi di daerah pusat gempa telah terjadi retakan-retakan batuan kulit bumi. Semakin banyak retakannya akan semakin sering melepas energi dengan energi yang sangat variatif. Konversi energi ini kita kenal dalam informasi gempabumi sebagai kekuatan atau magnitude gempa yang diberi satuan Skala Richter.
Demikian juga kedalaman gempabumi yang terjadi terlihat bervariasi antara 25km =<h=<117 km menunjukkan bahwa akumulasi energi terjadi tidak pada suatu volum batuan yang focus, tetapi terjadi pada volum yang sangat luas, sehingga energi yang terakumulasi dapat dikatakan tidaklah terpusat pada satu volum yang focus sehingga akumulasi yang tinggi nergi gempa itu terhindari terjadi.
Kejadian ini memberikan indicator kepada kita bahwa penumpukan energi terjadi secara menyebar sehingg gempabumi yang dikhawatirkan para pakar dapat terjadi antara M = 7 – 8 SR semakin kecil kemungkinan terjadinya.
CIRI GEMPA MENENGAH
Mungkin banyak dari sidang pembaca yang mempertanyakan kenapa gempa yang ke 2 di atas dapat mengguncangkan daerah yang sangat luas, dari Lombok hingg Malang dan sepanjang pantai selatan Bali, sama dengan pertanyaan beberapa teman penulis. Hal ini terjadi karena pusat gempa dari gempa yang kedua relative lebih dalam, masuk kategori gempa dengan kedalaman menengah. Getaran gelombang gempa yang biasa disebut dengan gelombang seismic mempunyai sifat semakin dalam pusat kejadiannya, dia akan memiliki sifat penetrasi yang lebih luas, dan energi gelombang badannya menjadi lebih besar dibadingkan dengan gempa dangkal.
Ingat gempabumi yang terjadi di pantai utara Inramayu dengan kedalaman lebih dari 600 km, walau kekuatannya seperti gempa yang kedaua diatas, getarannya dirasakan dampai kota-kota : sepanjang pantura Jawa, Batam, Singapura dan Kualalumpur di barat dan sampai dirasaraskan di Denpasar dan Mataram di sebelah timur.
Gempa dengan kedalaman dalam memang mengguncang dan dirasakan getarannya sampai jarak yang kauh, tapi tingkat pengrusakannya kecil. Beda dengan gempa dangkal yang getarannya umumnya dirasakan di daerah yang tidak begitu luas akan tetapi sifatnya sangat merusak.
Semakin banyak pertanyan dari masyarakat, dan semakin banyaknya masyarakat melaporkan merasakan gempabumi (walau kekuatannya kecil, seperti gempa 6 April 2017 ini, menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya masyarakat Bali mempunyai kesiap siagaan yang tinggi terhadap bencana gempabumi. Ini perlu di jaga dan dipupuk selalu, karena kita hidup di daerah yang rawan terhadap gempabumi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: gempabumi yang dirasakan sering terjadi oleh masyarakat merupakan akhir dari periode senyap seismic. Seringnya gempa terjadi mengindikasikan bahwa energi gempa di daerah ini di lepas perlahan, tidak terfokus suatu tempat terlihat dari posisi pusat gempanya. Semuanya merupakan kondisi yang menguntungkan ditinjau dari proses pelepasan energi gempabumi.
Penulis : Dosen pada Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Tangsel.


Selasa, 31 Mei 2016

Sumber Gempa Baru di Jawa

Sumber Gempa Baru di Jawa

 

 

Beberapa hari belakangan ini ramai dibicarakan, adanya sumber gempabaru di Jawa, yaitu patahan yang terliniasi dibawah wilayah Jakarta, dan di derah Kendeng perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur.

Kedua daerah yang ditengarai daerah gempabaru tersebut sejatinya adalah daerah gempabumi, yang secara historis pernah mengalami kerusakan karena gempabumi.

Data tersebut penulis ketahui saat menyusun isoseismal Jawa, saat masih menjadi staf Riset Geofisika BMG, maupun staf Analisa Geofisika BMG. Data tersebut juga dirujuk sebagai laporan untuk penelitian dalam tapal landas PLTN yang direncanakan di daerah Muria.

Daerah gempabumi Jakarta, pernah terjadi. Dikenal dengan gempabumi Depok, dimana kerusakan lebih banyak terkonsentrasi di Depok dan Cibinong, secara sporadis mengingat jarangnya pemukiman saat itu.

Sedangkan untuk daerah gempa yang kedua, dikenal dengan Gempa Kendeng yang menyebabkan kerusakan sporadis, ada pemusatan kerusakan di daerah Brondong dan Bulu. Dilaporkan kerusakan sampai di daerah Banyuurip Tuban.

Bila kita lihat kembali hasil survey lapangan dan saksi hidup yang sempaty di jumpai saat survey daerah Muria, kita akan kaget bila di daerah Juwana-Pati-Rembang pantai Pantura juga sempat mengalami tsunami. Saksi mata yang ada di Gunung Wungkal yang masih hidup saat survey menceritakan betapa hebatnya tsunami, bangkai binatang seperti babi dan sapi sampai tersangkut di atas pohon di pinggirang sungai Juana.

Rupanya bila kita melihat historitikan data kegempaan Jawa sejatinya kita tidak perlu kaget dengan temuan daerah aktip tersebut. Kita jadikan acuan untuk melihat apakah patahan setempat sudah mati apakan masih menunjukkan aktipitasnya yang dapat mengancam penduduk dan infrastruktur setempat.

============================================

Puri Gading, akhir Mei 2016

Jumat, 04 Maret 2016

Beberapa catatan Peringatan Tsunami Mentawai

Rame-rame memotret Menara Sirine Ina-Tws



Beberapa diskusi yang dapat dipetik dari peristiwa Gempa Mentawai, 7.8 skala richter, diantaranya :

  1. Peringatan dini direspon berlebihanoleh masyarakat, karena stigma perintah yang sudah melekat di negara kita, sampai-sampai zaman dulu, gerhana matahari total saja tak boleh dinikmati atau disaksikan, karena masyarakat disuruh ngumpet. Padahal filosfi penyelamatan sebagai antisipasi: "Kalau terjadi gempa besar menjauh dari bangunan yang mungkin runtuh, kalau potensi tsunami 'meninggi' artinya amankan diri cari tempat yang tinggi. Pengetahuan tentang sejarah tsunami dan ketinggian tempat perlu diketahui. Jangan sampai banyak pakar disuatu kota yang tingginya 109 m dari permukaan laut, ikut lari tunggang langgang karena tsunami. Mana ada tsunami sampai setinggi 109 meter.
  2. Para pakar juga harus tahu daerah-daerah tsunamigenic dan sifat patahan setiap daerah gempagenic. Kalau memang sesarnya tidak sesar vertikal, naik atau normal, kalaupun menimbulkan tsunami, pasti tidak akan membahayakan. Apa lagi ada perbedaan persepsi bahwa tsunami itu pasti besar.
  3. Ada perbedaan tuntutan antara masyarakat dan ilmuwan. Masyarakat menginginkan bahasa yang awam yang mudah mereka fahami, sepert tsunami mungkin ada baiknya disebutkan tsunami tidak membahayakan, tsunami setinggi h meter dalam memberikan peringatan. Sedangkan ilmuwan membedakan dengan mudah dari jejak signal gelombang, mana gelmbang laut dan mana gelombang tsunami. Jadi walau kecil kalau filtering menyebutkan itu signal tsunami akan diterjemahkan sebagai tsunami. Disini perlu jembatan bahasa sebagai media interface sehingga informasi yang diterima masyarakat menjadi mudah difahami, dan diantisipasi.
  4. Golden time. Melihat lokasi gempa Mentawai dan pantai terdekat, jaraknya relatif jauh, maka cukup waktu untuk menahan peringatan dini sampai terkonfirmasi dengan baik dan benar, baru dinformasikan, sehingga antitidak terlalu besar kerugian sosial dan dampak psikis yang ditimbulkan oleh peringatan dini. Kalau keseringan tidak benar, bisa saja suatu masyarakat akan terkecoh menganggap tidak benar, padahal tsunami memang datang. Nah mau disalahkan siapa... maka akan lebih bijak bila masyarakat memahami wilayah nya. 
  5. SOP sistem peringatan dini, yang mengharuskan dalam waktu tertentu informasi harus dibroadcast menyebabkan sistim peringatan lebih banyak bekerja secara otomatis dengan mesin. Padahal dalam filosofi peringatan dini seharusnya ada unsur 'art' disana yaitu seni pengetahuan sejarah kegempaan dan tsunami yang terkait daerah dimana gempa itu terjadi, sehingga ada sekond opinion yang berani dengan yegas mengatakan tak ada tsunami bila daerah gempa itu memang bukan tsunamigenic.
  6. Perlu soasialisasi terus menerus kepada masyarakat cara penyelamatan diri, pengenalan potensi bencana daerahnya sehingga masyarakat secara swasadar akan menyelamatkan diri secara tertib saat ada potensi bencana. Mengingat berbagai instansi terkait dengan bencana ini, BNPB yang paling pas sebagai koordinasi sosialisasi.
  7. Ada kesan saling menyalahkan dalam tidak berfungsinya alat terkait peringatan dini. Baik alat pemantau maupun alat diseminasi. Perlu diketahui bahwa sangat banyak instansi terlibat dalam sistem peringatan dini ini. Dalam pengamatan ada BMKG pengamatan gempa, BIG untuk pengamatan pasang surut air laut dan geodinamika lainnya, BPPT untuk pengamatan arus laut dan parameter lainnya di tengah laut. Sehingga tidak pas untuk menyalahkan langsung salah satu fihak kalau belum tahu unsur mana yang rusak. Sistem diseminasi, yang muaranya sirine ada yang dikontrol BMKG, ada yang dikontrol BNPB maupun ada yang dikontrol Pemda. Demikian juga peralatannya sangat berbeda beda, sehingga kehandalannya masing masing berbeda-beda. Jadi agak lama kalau mencara sistem bagian mana yang tidak berfungsi seperti dikatakan sistem sirine tidak berfungsi di suatu daerah pesisir barat Sumatera. Apakah itu tanggung jawab Pemda, atau instansi lain. Masih perlu pembenahan terus dalam menyempurnaan sistem ini.
  8. Nilai ambang untuk issued peringatan dini juga perlu di sempurnakan terus sehingga kita mempunyai sistem yang bail, pas dan benar secara nasional
  9. Masih banyak memang perlu dibenahi menuju sistem yang baik.

Senin, 29 Februari 2016



“REKLAMASI TELUK BENOA “

Kawasan Indah Teluk Benoa, Dimana Tol Laut Berada
Reklamasi atau revitalisasi Teluk Benoa, menjadi sebuah resort wisata menjadi polemik berkepanjangan dan ‘seakan’ tidak ada yang mengarahkan menuju kesebuah pernyelesaian yang komprehensif. Padahal kalau kita jujur melihatnya hal itu merupakan masalah yang sangat sederhana penyelesaiannya asalkan kita mau duduk bersama berdiskusi menyelesaikannya dengan sifat terbuka.
Pihak yang terlibat proses harus menerima masukan dari penolak reklamasi, dan demikian juga pihak anti reklamasi mau mendengarkan alasan mengapa di reklamasi. Hanya saja kenapa wakil-wakil rakyat kita yang membawahi daerah tersebut seakan diam, tidak membawakan aspirasi rakyat yang diwakilinya padahal mereka dipilih masyarakat.
Dalam diskusi seharusnya di lakukan dengan jujur tidak mempunyai pretense dan kecurigaan antara yang satu dengan lainnya, semua demi kepentingan rakyat. Bukankah dalam membangun rumah saja di bali kita minta ijin, atau minimal memberi tahu penyanding. Itu sebagai bentuk dasar kesaling menghormati diantara kita.
Lantas, semua pihak yang berkompeten yang menjadi stake holder harus semuanya mengedepankan kepentingan rakyat, Bali terutama masyarakat yang paling dekat atau terdampak pelaksanaan reklamasi ini. Kalau sebagian besar masyarakat setempat menolak, ya harusnya dihentikan rencana tersebut. Tapi kalau masih ada pro kontra diantara masyarakat setempat ya harus duduk bersama, menyelesaikannya untuk satu suara.
Stake holder bisa saja melibatkan: Pemerintah daerah Kabupaten, Provinsi yang terdampak, akademisi, wakil rakyat, pemuka masyarakat, akademisi, akhli budaya Bali, pelaku pariwisata, masyarakat pariwisata –bisa nasional dan internasional, sebagai konsumen wisata Bali-. Berundinglah semua untuk kepentingan Bali dengan mengesampingkan ego masing-masing, kasihan masyarakat diombang ambingkan dengan masalah ini sehingga demo disana sini, isunya sampai ketingkat regional dan internasional.
Padahal masyarakat kita dikenal dengan musyawarah dan mufakatnta dalam menyelesaikan sebuah masalah social seperti reklamasi ini. Kasihan masyarakat telah membuang buang energi kontra produktif dalam masalah ini. Cobalah berunding, jangan Koh Ngomomg, Ayo berunding ambil satu keputusan mengingat reklamasi juga punya sisi negative dan juga positive.
Reklamasi banyak dilakukan di negara lain, banyak juga di sesali dampaknya setelah dilakukan. Belajar dari pengalaman itu, ambil keputusan, sehingga masyarakat bisa tenang bekerja dengan memanfaatkan energinya secara produktif.
Selamat Berunding, ini hanya obrolan Bele Bengong, cuman masukan sederhana tanpa menggunakan metode dan data yang diperlukan dalam sebuah penelitian ilmiah. Ayo nak Krama Bali, bersatulah ambil keputusan.

Selasa, 03 November 2015

Masalah Kabut Asap di Jambi dan Riau



Masalah Kabut asap Jambi-Riau:
“KONDISI METEOROLOGIS-GEOGRAFIS MENDUKUNG KEBAKARAN”
Oleh : I Putu Pudja
Bencana kabut asap melanda Riau dan Jambi hampir empat bulan lamanya, sehingga transportasi di daerah itu hampir lumpuh, meningkatkan prepalensi ISPA di daerah tersebut, bahkan dilaporkan sampai mengakibatkan meninggal beberapa orang anak di daerah itu. Kedua daerah mengalami bencana terparah dibandingkan dengan daerah lainnya, yang juga dikabarkan mengalami kebakaran hutan dan lahan seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Kabut asap membuat semakin runyam masalahnya karena sampai menyebar kenegara tetangga Singapura dan Malaysia. Kedua negara itu menawarkan bantuan memadamkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Walau pada awalnya pemerintah Indonesia ingin memadamkan sendiri, namun belakangan karena kesulitan dalam memadamkannya, akhirnya menerima bantuan negara-negara tetangga bukan saja Singapura dan Malaysia, tetapi negara-negara yang mempunyai mperhatian terhadap kebakaran hutan dan lahan ini. Dalam pemadalam kebakaran ini hampir semua unsur SAR dilibatkan. TNI dilaporkan juga terlibat pembuatan kanal-kanal permanen untuk memadamkan api di kedalaman gambut.
Secara historis memang daerah Jambi dan Riau mengalami hampir setiap tahun bencana ini, akan tetapi kualitas pencemaran kabut asap tahun ini dirasakan lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Sehingga timbul pertanyaan Mengapa daerah Jambi dan Riau selalu mengalami kebakaran lahan dan hutan hampir setiap tahun.
Penulis akan mengajak siding pembaca melihat Kondisi meteorologis-geografis daerah ini, yang menyebabkannya relative lebih rawan kebakaran hutan dan lahan dibandingkan daerah lainnya yang juga pernah mengalaminya, yang sama-sama merupakan lahan gambut dan sedang gencar dikembangkan.
POSISI GEOGRAFIS
Dalam peta kita lihat kedua daerah tersebut beada di daerah katulistiwa, yang sebelah timur laut berhadapan dengan perairan Laut Cina Selatan-Selat Malaka, dan disebelah barat daya dibentengi oleh Bukir Barisan. Laut China Selatan dikenal dengan laut yang memasok uap air di Indonesia barat. Uap air ini secara teoritis juga seharusnya akan membuat hujan di daerah ini.
Seharusnya daerah Jambi dan Riau merupakan daerah yang kaya air, karena berhadapan langsung dengan Laut China Selatan yang dikenal mempunyai pasang surut diurnal yang sangat ekstrim, sehingga sering masuk ke sungai-sungai besar yang ada di kedua daerah ini. Minimal akan menghambat aliran air sungai saat pasang, dan akan melimpas ke DAS menggenangi gambut membuatnya basah, sehingga lebih sulit terbakar.
Pada kenyataannya malah kesulitan dihadapi dalam memadamkan api di daerah ini selama kebakaran hutan dan lahan. Jangan-jangan malah api tak pernah padam karena air tidak dapat mencapainya, baik secara alami mapun dengan air saat pemadaman.
Secara geografis posisi di khatulistiwa daerah ini dipengaruhi oleh gaya coriolis dan Boys Ballot akibat rotas bumi. Secara umu angina yang melintas khatulistiwa akan mengalami pembelokan, yang datang dari utara akan membelok kea rah tenggara, dan yang datang dari selatan akan membelok kearah timur laut.
Kedaua proses angin yang melintas daerah Jambi dan Riau ini akibat posisi geografis, secara meteorologis sangat ‘merugikan’ daerah tersebut. Terlebih adanya Bukit Barisan yang membentenginya dari dampak angina dari Samudera Hindia yang kaya uap air, karena sifat orografis hujan akan turun dilereng barat, Riau-dan jambi ada di daerah bayangan hujan.
KONDISI METEOROLOGIS
Dampak dari apa yang diutarakan pada dampak Posisi Geografis daerah Riau dan jambi menjadikan kedua daerah dirugikan secara meteorologis. Angin yang kaya uap air yang datang dari utara tidak sempat mengendap di atmosfer diatas daerah ini, karena dia akan segera dibelokkan oleh efek Boys Ballot.
Hasil penelitian yang dilakukan Puslibang BMKG maupun penelitian Prof Chang pakar meteorology tropis, menemukan bahwa di daerah khatulistiwa Laut China Selatan sangat sering terjadi vortek, yang membuat pusaran angina, menyebabkan angina lebih laju tertarik ke daratan katulistiwa Kalimantan.
Pusaran angina vortek dengan kelajuan dominan ini menarik secara spontasn uapaa air yang melintas di atas Jambi dan Riau segera kembali melintasi Laut China Selatan menuju Kalimantan. Hanya dalam pasang harian Laut China Selatan dampaknya menjadi pasang surut lebih ekstrim di daerah ini.
Udara diatas Jambi dan Riau akan menjadi relative selalu kering, baik dalam periode penghujan maupun  periode kemarau. Demikian pula kemarau seakan bergerak dari Riau-Jambi kemudian baru ke Kalimantan. Demikian pula dengan kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan bencana kabut asap kita ikuti Jambi dan Riau duluan mengalaminya baru kemudian Kalimantan. Seakan membenarkan apa yang diekmukanan Prof Chang dan hasil temuan Puslitbang BMKG.
Benteng Bukit barisan yang memaksa udara kaya uap air Samudera Hindia naik perlahan menaiki lereng barat dan menurunkan hujan orografis disana, sedangakn Riau dan jambi tetap mengalami angina turun bukit yang bersifat panas, yang sering disebut angina turun panas. Angin jenis ini juga melanda perkebunan tembakau di Deli, yang dikenal dengan angina Bahorok. Cuma kondisi Deli yang lebih di utara mengakibatkannya tidak mengamami kekeringan separah Jambi Riau.
Angin turun panas di Riau dan jambi ini akan membuat penuapan lahan menjadi lebih agresif, dan terjadi hampir sepanjang tahun. Setengah tahun akibat angin turun panas, setengah tahun akibat angin utara dari Laut China Selatan yang tertarik deras ke daratan Kalimantan. Pada perinsipnya Riau dan Jambi akan menjadi relative kering dengan kelembaban udara yang rendah, disamping mengurangi hujan juga membuat semakin kering lahan sehingga mudah terbakar, atau menghidupkan kembali kebakaran yang tak pernah padam pada gambut di kedalaman.
Dengan posisi geografis daerah ini, menyebabkan kondisi meteorologis setempat menjadi menunjang proses kebakaran hutan. Ini berlangsung sepanjang masa, menyebabkan Jambi Riau kebakaran setiap tahu. Upaya yang didapat dilakukan tentu harus disesuaikan dengan peneyebabnya.
Dikaitkan dengan pasang naik karena sifat pasang surut Laut China Selatan, secara alami dapat digunakan sebagai pemasok air ke kanal-kanal yang dibuat TNI secara permanen di daerah gambut, pengalirannya dapat dipakukan alami atau pompanisasi. Untuk jangka panjang akan membuat humus yang meningkatkan kelembaban dan mempersulit proses kebakaran hutan dan lahan.
SIMPULAN
Dari tinjauan terhadap posisi geografis dan kondisi meteorologis, maka keduanya menyebabkan daerah Jambi dan Riau semakin kering atau rendah kelembabannya, disamping mempersulit proses hujan juga akan memudahkan proses kebakaran. Angin turun panas dari barat dan pusaran angina akibat vortek Laut China Selatan membuat angin yang terkena efek pembelokan menjadi semakin kering dan kurang menurnkan hujan di daerah ini.
Kondisi ini mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan di daerah ini sulit dipadamkan, bahkan secara teoritis bisa saja tidak pernah padam tuntas karena menyisakan bara di gambut kedalaman yang siap membesar kembali bila kondisi alami kebakaran terpenuhi, dengan tanpa ada api sebagai awal kebakaran baru.
Karena semua ini terjadi secara alami, maka upaya TNI membuat kanalisasi pemadaman di daerah ini merupakan langkah yang tepat. Pengaliran air dapat menggunakan sifat pasang ekstrim Laut China Selatan yang meninggikan permukaan air sungai yang kebanyakan landau di daerah ini. Minimal di daerah ini air sungai akan sangat mudah, tinggal memikirkan bagaimana cara pengalirannya ke kanal, apakah secara alami atau pompanisasi. Sehingga upaya jangka panjang untuk menyiasati kelakuan alam di daerah ini dapat dilakukan, dampak kabut asap kebaran hutan dan lahan dapat ditekan.
Penulis: Lektor Kepala, Dosen Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta