Jumat, 24 September 2010

PROSES AMBLESNYA JL MARTADINATA BERLANGSUNG SISTEMIK

Amblesnya Jalan Martadinata di Jakarta Utara merupakan berita yang sangat menyita perhatian masyarakat Jakarta, selain arus balik pasca lebaran 1431 H. Banyak pihak yang mengaitkannya dengan perubahan iklim, maklum perubahan iklim belakangan ini sedang naik daun dan banyak ditumpangi kegiatan lain untuk dukungan menggoalkan berbagai proyek. Hampir semua sektor membuat kegiatan yang dikaitkan dengan perubahan iklim, sebagai euphoria pasca sidang COP-UNFCC dan IPCC yang diadakan di Indonesia (Nusa Dua Bali) dalam tahun- tahun terakhir.

Demikian pula dengan amblesnya Jalan Martadinata, yang mengalami ambles sepanjang 103 meter, sedalam 7 meteran, paling tidak pakar iklim ITB, Dr Armi Susandi dan Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Dr A Sonny Keraf (Kompas,18/09/10) mengaitkan kejadian ini dengan perubahan iklim.

Namun bila kita perhatikan data lebih jauh bahwa amblesnya Jl Martadinata tersebut, merupakan proses yang berlangsung lama dan sistemik menimpa daerah pesisir, yang mengalami eksplorasi air tanah secara besar-besaran, intrusi air laut, genangan rob, serta beban transportasi yang sangat tinggi intensitas dan kuantitasnya. Proses tersebut akan ditinjau dalam tulisan ini, dengan mengenyampingkan dampak perubahan iklim secara langsung pada proses amblesan ini.

EKPLORASI AIR TANAH

Kesulitan air bersih sudah tidak rahasia lagi bagi masyarakat Jakarta, terlebih untuk wilayah Jakarta Utara. Dilain pihak pembangunan dan urbanisasi di daerah ini lajunya sangat cepat, sehingga kebutuhan air bersih meningkat. Operasional perkantoran, opereasional hotel dan lain sebagainya yang merupakan tempat dengan kebutuhan air sangat besar, tidak dapat dipenuhi oleh PAM, sejak tahun tujuh puluhan. Nah satu-satunya jalan seperti diterangkan mantan Gubernur DKI Sutijoso, untuk memenuhi kebutuhan air ini adalah dengan eksplorasi air tanah.

Air tanah yang dimaksud disini adalah air tanah dengan kedalaman lebih dari 200 meter, yang cadangannya cukup besar dan tingkat keasainannya juga rendah, walau di daerah dekat pantai. Jumlah sumur dalam ini datanta pasti ada di Dinas Pertambangan DKI yang merekomendasi ijin pembuatan sumur dalam. Sumber air ini merupakan air bersih yang sangat murah.

Pembuatan sumur dalam ini tanpa memperhatikan kondisi geologi setempat. Sehingga dalam proses berkurangnya massa air di dalam rongga tanah terutama dome, akan mampu mengganggu kestimbangan blok-blok disekitar dome tersebut. Bila hal ini terjadi tentu amblesannya akan tinggi mengingat massa air yang diambil sangat banyak.

Di daerah urban yang padat penduduk, kebutuhan air bersih dipenuhi dengan pompa air tanah dangkal. Walau volume yang tersedot relative kecil per pompa, namun karena kepadatan sumur bor menyebabkan massa air tanah tersedot cukup laju, dan akan semakin dalam mengikuti kemarau. Ini pasti pernah kita alami sebagai penduduk Jakarta dalam menperdalam sumur pompa setiap kemarau panjang.

Kerusakan yang terjadi akibat pompa air tanah dangkal dengan kerapatan tinggi, akan menyebabkan penurunan secara perlahan dalam areal yang luas. Dan proses ini diduga memacu memperluas genangan banjir di Jakarta, baik genangan waktu hujan atau waktu rob.

Untuk data penurunan permukaan tanah di Jakarta Utara dekat kejadian, kelajuannya antara 6 – 12 centimeter pertahun, hasil pengamatan dengan GPS (Prof Hasanuddin Z Abidin,ITB).

INTRUSI AIR LAUT

Pengeksplorasian air tanah yang demikian hebat sejalan dengan meningkatnya pembangunan pencakar langit di Jakarta, memicu intrusi air laut semakin cepat di DKI, yang saat ini konon sudah sampai ke daerah Setiabudi, bukan hanya sampai kawan Monas seperi beberapa tahun terakhir diberitakan.

Intrusi air laut ini terjadi sebagai penyusupan air laut atau air asin kedaratan sebagai reaksi atas ekplorasi air tanah secara besar besaran, mengisi kekosongan pori yang ditinggalkan air tanah, maupun rongga dome yang telah kosong.

Hasil penelitian Litania, dalam tugas akhirmya di Akademi Meteorologi dan Geofisika, menunjukkan bahwa garis intrusi air laut, penurunan akibat eksplorasi air tanah secara total, teramati berkorelasi dengan daerah genangan banjir. Ia menggunakan pergeseran dari tahun-ke tahun nilai anomaly gravitasi di Jakarta.

Dengan demikian disamping mengakibatkan penurunan permukaan tanah juga menyebabkan intrusi air laut akibat pengambilan air tanah dalam maupun dangkal di wilayah Jakarta. Karena upaya pencegahan terhadap eksplorasi air tanah ini belum berjalan efektif, maka proses intrusi dan penurunan permukaan tanah di Jakarta diduga akan tetap berlangsung secara sitemik.

BEBAN MENINGKAT

Pembangunan pencakar langit di Jakarta, disamping berdampak pada kebutuhan air bersih untuk operasionalnya, beban bangunan jelas akan memberikan beban tanah dibawahnya, sehingga secara perlahan dan pasti akan menekan lapisan tanah dibawahnya dan berdampak penurunan permukaan tanah. Perhatikan penurunan Jalam Thamrin yang cukup konsisten dari tahun ke tahun sejalan dengan pertumbuhan pencakar langit di sekitarnya. Penurunan akan menjadi semakin laju bahkan tidak serba sama, bila dikaitkan dengan struktur geologi maupun pengeksplorasian air tanah yang terjadi.
Khusus untuk kasus Jl Martadinata, beban yang membebani bahu jalan itu diduga beban muatan kendaraan yang keluar masuk pelabuhan, yang lebih sering tidak terkontrol muatannya dibandingkann dengan kemampuan dukung jalan.

Proses kerusakan yang sistemik kelihatannya telah terjadi menimpa Jl Martadinata yang ambles, mulai dengan karena eksplorasi air tanah yang tak terkendali, diikuti oleh intrusi air laut (air asin), serta ditambah dengan beban muatan kendaraan yang hilir mudik di diatasnya, maupun beban-beban lain yang memacu amblesan sehingga memacu rob dan intrusi semakin dahyat saja.

Dengan demikian tiga faktor yang bekerja sistemik yang menjadi penyebab amblesnya Jl Martadinata, yaitu : eksploitasi air tanah, intrusi air laut, serta beban pada bahu jalan tersebut. Guna menghambat proses sistemik ini berlangsung di tempat lain maka ketiga faktor tersebut perlu dikendalikan.

Penulis : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG.

0 komentar:

Posting Komentar