Jumat, 23 Juli 2010

NTT sarat dengan pertumbuhan tektonik dan gunung api

Sedikitnya 24 orang meninggal dan korban materi senilai jutaan rupiah di derita masyarakat Alor dan sekitarnya ketika gempa bumi kuat 6,7 skala Richter mengguncang Pulau Kecil tersebut, 4 Juli 1991.
Kerusakan yang berkepanjangan terjadi akibat guncangan gempanya masih terasakan hingga akhir Juli sehingga memberikan gambaran betapa betapa labilnya daerah itu.
Secara teoritis rangkaian gempa bumi yang terjadi di suatu tempat guncangannya dibedakan menjadi gempa pendahuluan (fore shock), gempa utama (main shock), dan gempa susulan (after shock). Namun setiap daerah tidak sama kejadiannya. Ada gempa tanpa pendahuluan dan ada pula yang tanpa gempa utama di samping ada yang lengkap memilikinya.

Tiga tipe gempa
Keadaan itu oleh K. Mogi (1963) diselidiki dengan meneliti batuan, sampel dari bumi di laboratorium dengan memberi stimulasi gempa buatan. Sungguh fantastik yang didapat ahli fisika batuan berkebangsaan Jepang ini. Ia mendapatkan sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.
Akibat patahan yang terjadi pada batuan yang merupakan biang dari gempa bumi bukanlah patahan tunggal, melainkan patahan yang disertai oleh patahan-patahan kecil sebagai crack akibat stres, maka gempa yang terjadi bukanlah gempa tunggal melainkan rangkaian gempa dengan gempa yang terkuat patahan utama (patahan induk).
Dari banyaknya kejadian yang diamati maka secara umum kemudian dibedakannya gempa-gempa yang terjadi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu :

  • Tipe gempa pertama : merupakan rangkaian gempa yang kejadiannya memiliki gempa utama yang hadir secara tiba-tiba (tanpa gempa pendahuluan) kemudian disertai oleh gempa susulan dalam ukuran waktu yang cukup lama.
  • Tipe gempa kedua : merupakan rangkaian gempa bumi yang paling lengkap, memiliki gempa pendahuluan, gempa utama dan diikuti oleh gempa susulan, yang cukup banyak pada kurun waktu relatif lama.
  • Tipe gempa ketiga : sering disebut swarm merupakan rangkaian gempa bumi, yang tidak memiliki gempa utama. Jumlah dan besarnya bervariasi dengan terus melurah berhenti sejalan dengan menurunnya frekuensi gempa yang terjadi. Jenis ini biasanya menyertai keaktifan pasca vulkanik.
Tipe gempa yang terjadi tersebut kemudian diselidiki. Ternyata mempunyai korelasi dengan jenis batuan setempat.
Tipe gempa pertama berkaitan dengan medium yang homogen serta di bawah pengaruh tegangan yang homogen pula.
Tipe gempa kedua, berkaitan dengan jenis medium batuan tidak homogen dengan distribusi ruang tegangan yang tidak sama.
Tipe gempa ketiga dikaitkan dengan medium yang sangat tidak homgen (heterogen) tetapi tegangan yang dideritanya terkonsentrasi.

Tipe gempa NTT
Sejak 1980 teori Mogi ini diterapkan sebagai acuan studi kegempaan di Indonesia, khususnya untuk gempa-gempa besar yang merusak, termasuk gempa-gempa NTT.
Rasyidi Sulaiman (1985) seorang pakar statistik seismologi di BMG, pada studi gempa Sumbawa, dan Putu Pudja (1988) pada studi gempa Pantar 27 November 1987 (tetangga Pulau Alor) di NTT, menemukan bahwa gempa-gempa di sana merupakan merupakan gempa yang termasuk gempa tipe kedua, dengan waktu luruh atau gempa susulan yang sangat panjang.
Untuk gempa Sumbawa, 19 Agustus 1977 bahkan gempa susulannya masih terjadi pada kurun waktu tahunan.
Demikian pula halnya dengan gempa Alor 4 Juli 1991 lalu, tidak lain adalah tipe kedua tersebut.
Gatot Subijanto dari Stasiun Geofisika Kupang yang memantau terus gempa susulan gempa Alor, melaporkan bahwa pada minggu kedua setelah kejadian gempa, susulannya masih terasa, bahkan memperparah kerugian dan menambah korban.
Dari pernyataan di atas tentu timbul pertanyaan, kenapa khok gempa susulan dapat merusak bahkan menimbulkan korban jiwa?
Nah, ini akan sangat mudah dimengerti bila dikaitkan dengan kekuatan gempa utamanya yang 6,7 skala Richter.
Di samping itu tentunya kekuatan bangunan, setempat akibat digedor oleh gempa utama menjadikannya turun kekuatannya sehingga saat diguncang gempa susulan yang berkepanjangan dengan kekuatan relatif besar akan sangat mudah berubah. Di lain pihak masyarakat sudah menganggap keadaan aman-aman saja dan menurunkan tingkat kewaspadaannya.

Dapat ditentukan
Seperti kejadian gempa utama yang disertai oleh cukup banyak gempa susulan di Alor, maka saat berhentinya atau paling tidak saat dimana guncangan dianggap aman, dapat ditentukan dengan mudah. Yaitu berdasarkan dari pantauan lapangan yang biasa menggunakan seismograph jinjingan.
Alat ini memantau frekuensi aktivitas getaran secara kontinyu dari waktu ke waktu. Bila dipasang di lokasi bencana maka batas terkecil getaran yang mau dipantau dapat diset. Dengan mengetahui sifat gempa yang meluruh secara exponensial terhadap waktu, maka data jumlah getaran dari waktu ke waktu yang dicatat dapat dikorelasikan terhadap waktu sehingga persamaan peluruhan akan diketahui.
Dari persamaan yang diketahui ini, dengan batas toleransi yang diperbolehkan statistik maka waktu kapan dianggap sudah aman guncangan dapat ditentukan/diprakirakan.
Harus diingat, kekuatan gempa susulan sangat ditentukan oleh kekuatan gempa utama, walau kekuatannya relatif lebih kecil dibanding kekuatan gempa utama.
Menghadapi keadaan yang demikian maka disarankan kepada masyarakat di daerah bencana untuk lebih waspada bila mengalami kejadian seperti di Alor ini.
Masyarakat diharapkan meneliti tempat tinggalnya setelah gempa utama terjadi. Bila tidak dianggap aman/meragukan kekuatannya lebih baik untuk sementara tidak dihuni atau minta advis pada petugas setempat (Pemda, PU, dan lain-lainnya).
Bila memperhatikan historikal data gempa di BMG maka NTT merupakan daerah rawan gempa khususnya daerah Flores Timur, karena di daerah ini pernah tercatat hanya pada dekade terakhir saja dirusak oleh gempa beberapa kali seperti Gempa Ruteng, Gempa Larantuka, Gempa Pantar, Gempa Alor dan lain-lainnya.
Ini menambah bukti bahwa daerah tersebut masih dalam proses geologi yang juga sarat dengan pertumbuhan vulkanisme/gunung api seperti lahirnya Gunung Ranakah, aktifnya Gunung Lewatobi baru-baru ini.
Semua kejadian ini tidak dapat dipisahkan dari adanya beberapa simpul jalur gempa akibat pertemuan 3 lempeng-lempeng tektonik dunia bertemu di Laut Banda, persis di utara gugus kepulauan NTT, yang dikenal masih menyimpan misteri geologis yang belum teruangkap tuntas.
Aktivitas kegempaan NTT, khususnya gempa-gempa di Flores Timur boleh jadi sebagai pembawa ciri gempa-gempa pada jalur ini yaitu termasuk tipe gempa kedua, dengan jenis batuan yang tidak homogen dengan sistem gaya yang menekan/menegangkannya tidak sama ke segala arah.
Kejadiannya disertai oleh gempa pendahuluan yang kadang-kadang hanya dipantau alat saja, tetapi gempa susulan yang berlangsung relatif lama.

Dimuat di harian Bisnis Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar