Kamis, 25 Maret 2010

Memperkirakan Berakhirnya Gempa Susulan

Bencana nasional gempa bumi Maumere (12 Desember 1992) memporakporandakan daerah setempat serta menelan korban sangat banyak. Lebih dari 2.000 orang meninggal dunia dan hilang diterjang tsunami serta lebih dari seribu orang luka-luka. Masyarakat yang selamat di daerah bencana secara psikis terus dihantui banyaknya gempa susulan yang menyertai gempa tersebut.
Menurut laporan, di Maumere beberapa kali terjadi gempa susulan juga disertai tsunami walau dengan intensitas tidak begitu besar. Hal it uterus menyiksa batin masyarakat setempat. Dalam kondisi ini memprakirakan kapan berakhirnya gempa susulan merupakan jalan keluar yang dapat menjawab serta membesarkan hati masyarakat di daerah bencana.
Berkaitan dengan hal itu, penulis mengajak pembaca menengok jenis gempa bumi yang terkait dengan gempa merusak serta melihat karakteristik masing-masing jenis tersebut untuk dapat menghitung kapan berakhirnya suatu gempa (susulan) di daerah bencana gempa.

Bila meninjau suatu rangkaian getaran yang menyertai suatu gempa bumi, maka gempa itu secara umum memiliki rangkaian getaran yang disebut sebagai gempa pendahuluan (fore shock), gempa utama (main shock), dan gempa susulan (after shock).
Sangat Terkait
Punya tidaknya ketiga jenis getaran itu sangat ditentukan homogenitas batuan di mana gempa itu terjadi. Ditinjau dari sifat homogenitas (fisik) batuan, pakar seismofisik Jepang Mogi menggolongkan gempa bumi menjadi tiga tipe, yaitu :
Tipe I merupakan gempa bumi yang tidak memiliki gempa pendahuluan dan hanya memiliki gempa utama yang disertai gempa susulan sangat banyak. Hasil penelitian di laboratorium, tipe gempa ini terjadi pada batuan yang sangat homogen. Tipe ini merupakan tipe yang prospek prakiraan terjadinya sangat sulit, tetapi berakhirnya gempa susulan mengikuti sifat peluruhan energi secara umum.
Tipe II merupakan gempa bumi yang sangat komplet memiliki gempa pendahuluan yang cukup, gempa utama, dan gempa susulan yang sangat banyak. Kejadiannya sangat terkait dengan penglepasan energi potensial gempa oleh medium yang agak heterogen, seperti material pembentuk kulit bumi pada umumnya.
Berdasarkan prospek prakiraan datangnya gempa ini, para pakar optimis dapat mengembangkannya. Peluruhan gempa susulannya juga mengikuti sifat peluruhan energi secara umum, sehingga pemantauan secara cermat di daerah bencana memberikan data yang akurat untuk perhitungan kapan berakhirnya suatu ancaman gempa atau getaran di daerah bencana.
Tipe III, sering pula disebutkan sebagai tipe swarm, merupakan gempa bumi yang tidak memiliki gempa utama. Rangkaian gempanya datang secara tidak jelas tanpa ditandai puncak gempa utama serta berakhirnya juga demikian. Dapat berkepanjangan atau secara tiba-tiba berhenti.
Kejadiannya sangat terkait dengan penglepasan energi yang terjadi pada gaya yang konsentris. Umumnya terjadi di daerah vulkanik atau pascavulkanisme.

Ramai Menggoyang
Sudah dibuktikan sejarah bahwa sebagaian besar wilayah Indonesia merupakan daerah rawan gempa bumi, karena posisinya pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dari enam lempeng tektonik utama pembentuk kulit bumi. Yaitu pertemuan antara lempeng tektonik Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia.
Ketiganya bergerak saling mendekati dan bertumbukan. Daerah pertemuan dan daerah patahan sebagai dampak saling mendesaknya lempeng tektonik ini merupakan daerah-daerah rawan gempa bumi.
Daerah Nusa Tenggara ditinjau dari posisinya berada pada daerah dekat dengan batas pertemuan ketiga lempeng tektonik tersebut. Ini merupakan daerah aktif gempa bumi. Tiga dari 21 daerah rawan gempa merusak di Indonesia berada di Nusa Tenggara.
Bencana yang diakibatkan gempa bumi di daerah ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki daerah lain. Ciri tersebut adalah tingkat pengrusakannya selalu berkait dengan bencana lain yang mengikuti gempa itu sendiri, tanah longsor, dan tsunami. Ingat gempa Alor (4/7/1991), gempa Pantar (26/11/1987), gempa Sumbawa (19/8/1977) yang juga disertai tanah longsor atau tsunami.
Penelitian mikroseismik yang dilakukan BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) di Nusa Tenggara, baik pada saat terjadi gempa kuat/merusak di lapangan maupun penelitian khusus, menunjukkan bahwa gempa Nusa Tenggara tergolong pada tipe II –gempa menurut penggolongan Mogi. Dan sangat dikenal dengan interplate–nya yang merupakan gempa menengah dalam kedalaman tetapi sangat kuat daya rusaknya.
Tipe II yang dimiliki gempa di daerah ini – termasuk gempa Maumere yang baru lalu – memberikan bantuan tidak langsung kepada para petugas lapangan yang dilengkapi seisograf (alat pencatat gempa bumi) jinjing baik yang dari BMG maupun Direktorat Geologi dan Sumber Daya Mineral, selain data pantauan operasional jejaring gempa BMG.
Bantuan tersebut berupa kemudahan dalam prakiraan kapan berhentinya getaran-getaran yang membahayakan dari rentetan gempa susulan yang sangat ramai menggoyang daerah bencana secara beruntun.

Sangat Sederhana
Karena sifat peluruhan energi dari gempa susulan tipe II - jenis gempa bumi Nusa Tenggara secara umum, demikian juga gempa Maumere – mengikuti sifat peluruhan energi secara umum, maka dari data pemantauan “intervalis” (biasa diambil harian, setengah harian, atau enam jam-an tergantung tingginya frekuensi gempa yang terjadi) akan sangat mudah menentukannya.
Peluruhannya akan mengikuti sifat eksponensial peluruhan, yang banyaknya gempa menurun sangat drastis per-interval waktu terhadap perjalanan waktu.
Pengolahan data untuk menemukan persamaan peluruhan energi gempa susulan dengan pemantauan gempa susulan dengan alat pencatat gempa jinjing di lokasi bencana sangat mudah, baik secara grafis dengan bantuan semilog blok atau bantuan kalkulator ilmiah yang paling sederhanapun. Apalagi dengan kemajuan bentuk komputer saat ini seperti laptop sangat memudahkan perhitungannya di posko oleh pengamat di lapangan.
Dengan menggunakan rumus sederhana, maka kapan berhentinya getaran dari gempa susulan dapat diestimasi. Hal ini sangat membantu psikis masyarakat serta menentukan waktu untuk memulai rehabilitasi pemukiman secara aman.
Selain untuk penentuan kapan berakhirnya getaran gempa susulan itu, maka pemantauan langsung di lokasi dengan alat pencatat gempa jinjing yang memadai (minimal empat alat) dapat diketahui karakteristik kegempaan setempat. Hasilnya dikombinasikan dengan data historik gempa merusak untuk masukan pembangunan di daerah itu yang mau tidak mau harus memperhitungkan masalah kegempaan (tahan gempa) guna menekan jumlah korban yang mungkin terjadi di kemudian hari pada perulangan gempa tersebut.
Mengingat secara statistik gempa pasti akan datang kembali di daerah itu sebagai manifestasi penglepasan energi, walau belum bisa diramalkan kapan datangnya. Sejarah kegempaan menunjukkan Nusa Tenggara, khususnya Flores, memang kerap sekali mengalami bencana gempa bumi.
Dalam lima tahun terakhir saja dapat kita catat sedikitnya tiga kali gempa merusak dan semuanya merenggut korban jiwa. Gempa Pantar (korban jiwa 44 orang meninggal); gempa Alor (24 orang meninggal); serta gempa Maumere.

Dimuat di harian Suara Pembaruan edisi Minggu tanggal 3 Januari 1993.

0 komentar:

Posting Komentar