Kamis, 25 Maret 2010

Cara Agar Manusia Tidak Mengeluh Pada Musim Kemarau Yang Kering

Musim kemarau tahun ini terasa lebih “menggigit” dibandingkan kemarau beberapa tahun terakhir ini, yang secara rutin kita alami setiap tahun. Sumur-sumur dangkal milik masyarakat di perkotaan sepanjang pantai utara Jawa mengalami kekeringan. Hal itu memaksa pemiliknya mengadakan usaha memperdalam atau memperkuat pompa yang dipakai sehingga daya hisapnya berubah.
Usaha masyarakat itu sebenarnya secara tidak disadarinya dapat mempercepat perembesan air laut masuk ke darat (intrusi ke laut). Berkaitan dengan itu di daerah Brebes dilaporkan bahwa di tengah-tengah kemarau ini ada 13 desa mengalami intrusi air laut (Pembaruan, 4/9/91). Intrusi ini sebelumnya belum pernah terjadi di daerah itu.
Sementara itu di tengah situasi luasnya areal pertanian yang mengalami puso akibat kekurangan air. Menteri Pertanian mengatakan bahwa dengan kondisi sekarang ini di Jawa masih kekurangan waduk untuk menghadapi kekeringan. Apalagi waduk merupakan “dewa” penyelamat bagi beberapa daerah kritis, seperti Gunungkidul, Wonogiri, untuk memenuhi kebutuhan air pada kemarau.
Pernyataan Menteri Pertanian ini rupanya dipertegas Wakil Gubernur Jawa Barat. Wagub ini mengatakan bahwa daerah Cirebon, dalam saat-saat menghadapi kekeringan seperti kemarau tahun ini, sedikitnya masih memerlukan lima waduk ukuran kecil. Jumlah tambahan ini sementara dianggap aman dalam menghadapi dampak kekeringan.
Bila disimak lagi antara ketiga hal tersebut, yaitu kekeringan, intrusi air laut, dan waduk, satu sama lain merupakan hal yang sangat bertalian dan boleh jadi yang satu menjadi dampak dari yang lain. Atau hadirnya yang satu merupakan terobosan untuk mengatasi dampak yang lain.

Air Laut Di Darat
Hampir semua kota pesisir sepanjang pantai utara Jawa, dari Cilegon hingga Surabaya, sejak beberapa tahun terakhir diamati mengalami intrusi air laut. Dari tahun ke tahun air laut semakin jauh masuk ke daratan. Seperti intrusi air laut di Jakarta ditemukan tahun-tahun terakhir ini sudah sampai di Jalan Thamrin, Cempaka Putih, dan bahkan sampai Rawamangun. Dan dikhawatirkan semakin tahun kian bertambah.
Pascakemarau tahun ini diperkirakan terjadi kemajuan serius dalam intrusi air laut ini. Dan boleh jadi kejadian yang menimpa beberapa tempat di Brebes sebagai contohnya.
Pengeksplorasian air tanah secara tak terkendali dan dipaksakan di musim kemarau ini memaksa terjadi pengosongan massa kulit bumi. Sehingga batuannya menjadi sarang (poros) yang ditinggalkan air tanah. Sementara itu sebagai kompensasi mengalir lah rembesan air laut yang sudah mengintrusi daerah sekitarnya, mengisi kekosongan itu.
Sifat air laut yang memiliki densitas lebih besar selalu mulai dari lapisan yang relatif ke bawah. Di lain pihak air tawar yang sebagian besar dari air hujan sebagai penetral dan pemasok air tanah memerlukan waktu relatif lama untuk kembali pada keadaan semula. Terlebih lagi air limbah dari pemakaian air tawar sehari-hari akibat sistem pendauran yang belum begitu baik, sehingga sebagian besar air terbuang ke laut lewat sungai.
Selang waktu pengisian yang lama ini dipakai terus oleh rembesan air laut untuk mengisi kekosongan pada batuan yang sarang, sehingga daerah yang terintrusi relatif lebih luas. Kadar intrusi yang terjadi sangat ditentukan massa air laut yang sempat menempati sarang batuan sampai menyatu dengan air tawar yang kembali normal di musim hujan berikutnya. Untuk mengatasi keadaan ini – agar tidak bertambah parah – perlu segera ditempuh langkah-langkah pengendalian air limbah keluarga perkotaan agar segera dapat terserap tanah kembali sebagai air cadangan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah pembuatan kolam atau sumur imbuhan seperti apa yang diungkapkan Ir. Tubagus Rais, dari Bappeda DKI Jakarta, pada seminar yang membahas masalah perkotaan, baru-baru ini.
Sumur imbuhan sebagai sarana untuk mempercepat dan mengendalikan pengembalian air limbah ke tanah menurut rencana akan dijadikan salah satu ketentuan yang harus dipenuhi dalam penertiban IMB (Izin Mendirikan Bangunan) di Jakarta. Ini merupakan suatu ide yang menunjang pembangunan berwawasan lingkungan. Tentunya juga sudah perlu dipikirkan daerah perkotaan lain, selain Jakarta.

Cegah Intrusi
Karena intrusi air laut ke darat membawa dampak menurunkan produktivitas pertanian, yang masih terbentang sepanjang pantai utara Jawa, maka usaha pencegahannya pun perlu dilakukan. Karena tidak mustahil apa yang dialami beberapa tempat di Brebes juga telah dialami daerah-daerah lain dengan kondisi yang sama.
Proses intrusi ini merupakan proses alami yang pasti berjalan terus. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan dalam melestarikan pertanian di kawasan ini adalah menetralkan air laut yang akan masuk ke darat sebagai intrusi. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menghilangkan kandungan garam air laut tersebut. Dengan proses kimiawi tentu sangat mahal dan sulit dilakukan.
Salah satu cara yang sudah berhasil dilakukan di mancanegara, seperti daerah pertanian pantai di Amerika Serikat, adalah dengan membangun tanggul batu dari jenis batu cadas yang dapat menyaring kandungan garam air laut yang akan masuk ke darat. Dan hasilnya pun dilaporkan dapat mengembalikan produktivitas petani yang sebelumnya sangat merosot, bahkan gagal akibat intrusi air laut pada areal pertanian di sana.
Untuk daerah pesisir utara Jawa Barat, yang selama ini diandalkan sebagai lumbung beras walaupun keadaannya belum separah itu, sepantasnya mendapat perhatian sebagai objek penelitian kasus yang sama. Sehingga langkah-langkah yang masih bertaraf ringan dapat dilakukan sedini mungkin untuk mempertahankan daerah itu sebagai lumbung beras.

Dihadapi Teknologi
Embung merupakan waduk buatan dalam skala kecil yang sudah sejak awal 80-an diperkenalkan di Indonesia sebagai kantong-kantong penampung air pada daerah-daerah sulit air, seperti NTB dan Madura. Teknologi ini dipakai membangun waduk dengan dasar dilapisi polyetiline sejenis plastik untuk menghindari kebocoran air hujan yang sudah tertampung.
Dalam perkembangannya dirasakan bahwa teknologi yang diperkenalkan bersama oleh Badan Meteorologi Dunia (WMO), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dengan Departemen Pertanian, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sejak tahun 1983 lalu tidak begitu mendapat sambutan sehingga beberapa embung yang sempat dibangun di Madura, NTB, dan beberapa daerah lainnya tidak diteruskan masyarakat setempat.
Dalam perkenalannya embung ini ditujukan untuk menampung antara 300 sampai 500 meter kubik air hujan pada daerah-daerah tandus yang tidak memiliki sarana pengairan memadai serta kurang sumber air tanahnya. Sehingga air yang ditampung dapat digunakan untuk keperluan pengairan dalam bertani maupun berkebun, kolam untuk memelihara ikan, dan air minum ternak serta air minum manusia setelah disaring dan dimasak sampai mendidih, karena dalam proyek ini juga diperkenalkan cara penyaringan air memenuhi syarat kesehatan dengan teknologi penyaringan berlapis memakai materi saringan kerikil, ijuk, serta arang.
Dengan persediaan air pada embung dengan kapasitas 400 meter kubik untuk pengairan sawah dihitung secara teliti mampu mengairi sawah 0.25 hektare untuk menanam satu kali padi dan dua kali palawija. Padahal luas lahan yang terambil untuk embung ini hanya sekitar 20 x 12 meter persegi pada permukaan, dalam 3 meter serta luasan dasar hanya 12 x 4 meter persegi.
Penyimpanan air pada embung ini – untuk mengurangi kebocoran air atau penguapan air – selain embung dilapisi plastik, juga bentuknya semakin ke dalam kian menyempit serta permukaan airnya dapat dilapisi minyak goring untuk mencegah penguapan.
Bila kita kaitkan dengan pernyataan Menteri Pertanian untuk menyiasati kemarau dengan menambah waduk lagi di Pulau Jawa, rupanya teknologi embung perlu dimasyarakatkan kembali mengingat musim kemarau tetap kita alami secara periodik.
Untuk Pulau Jawa dampak ekstrem kemarau ini, bila dilihat dari elevasi permukaan air waduk, seperti apa yang menjadi penelitian pengelola Kali Brantas yang juga memiliki beberapa waduk di sepanjang alirannya, menunjukkan bahwa angka ekstrem terlihat setiap lima tahun. Untuk data beberapa tahun terakhir itu terlihat masing-masing dampak ekstrem kemarau pada tahun 1972, 1977, 19982, 1987, dan ada kemungkinan dampak yang sama muncul tahun 1992.
Sehingga bila kita melihat dampak kemarau tahun ini yang bukan dalam hitungan angka puncak saja sudah parah, maka untuk menghadapi puncak tahun depan (bila pola tersebut masih diikuti), maka kita sudah harus siap-siap menghadapinya dengan berbagai teknologi yang ada

Selimut Kabut
Selain itu, rupanya minggu-minggu terakhir ini dampak kemarau sudah menjalar dan dirasakan daerah di luar Jawa. Bukan kekurangan air yang dirasakan, tetapi gejala alam lain berupa kabut yang menyelimuti permukaan sehingga sangat menyulitkan transportasi.
Kejadian ini terjadi karena adanya udara yang lembab dekat permukaan terperangkap dua lapisan yang memiliki kontras termal yang sangat tinggi. Lapisan udara di permukaan yang relatif dingin memaksa udara lembab mengembun segera pada saat permukaan menjadi dingin pada malam hari maupun di pagi hari. Sedangkan lapisan udara yang berada di atasnya relatif tetap panas akibat pemanasan di siang hari serta energi radiasi terestrial gelombang panjang bumi pada malam hari.
Massa udara yang tidak begitu padat menjadikan uap air yang dikandungnya mengembun di dekat permukaan berupa awan tipis yang kita kenal sebagai kabut menyelimuti permukaan tanah. Yang sudah pasti kabut itu mengganggu visibilitas atau jarak pandang mata. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kabut itu sebenarnya awan tipis yang terbentuk di dekat permukaan. Karena massanya relatif kecil, maka dia lebih gampang musnah setelah terkena radiasi atau lapisan tempat tinggalnya memanas kembali dibandingkan jatuh sebagai endapan ke permukaan.
Kejadian ini rupanya mengganggu sarana transportasi udara beberapa kota di Kalimantan dan Sumatera. Karena parahnya situasi dan berbahaya untuk angkutan sungai, maka pihak Kanwil Perhubungan Sumatera Selatan kemungkinan menggunakan giliran tanggal genap dan ganjil untuk angkutan ke hilir dan ke udik menyusuri sungai sebagai langkah pencegahan terjadinya kecelakaan transportasi sungai yang dikabarkan sudah terjadi dalam situasi kabut kali ini.

Lebih Serius
Lain di Kalimantan dan Sumatera, maka berbeda pula masalah kabut yang terjadi di beberapa daerah pegunungan di Jawa. Seperti di Pangalengan dan Dieng. Petani di sana mengeluh karena bukan saja kabut biasa yang muncul yang sudah mereka akrabi, tetapi kabut yang timbul merupakan kabut “racun” yang kelewat dingin. Kabut “racun” ini merusak perkebunan kentang petani Dieng dan mematikan pucuk-pucuk teh di Pangalengan.
Dinginnya kabut yang terjadi karena amplitudo panas udara permukaan pada siang hari serta dinginnya udara di malam hari daerah tersebut sangat lebar. Keadaan ini sangat ditentukan energi terrestrial gelombang panjang permukaan Bumi di malam hari, setelah menerima radiasi Matahari pada siang harinya.
Besar dan semakin melebarnya dampak kemarau yang menjadi tradisi iklim kita, khususnya pada musim kemarau panjang (ekstrem), maka studi penetrasi dampak ini sudah saatnya secara dini kita lakukan secara lebih serius dan berkesinambungan. Sehingga segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi secara cepat dan tepat dapat diatasi dan kita tetap tidak mengeluh pada musim kemarau.
Apalagi kalau benar hasil pengamatan dampak kemarau, seperti terpantau di Waduk Brantas, maka mau tidak mau kita pasti mengalaminya setiap lima tahun.


Dimuat di harian Suara Pembaruan edisi Minggu tanggal 29 September 1991

1 komentar: