Sabtu, 22 Maret 2014

Manajemen Bencana



Pola Manajemen Bencana
Oleh : I Putu Pudja

Add caption
Dari sudut pandang kebencanaan, akhir tahun 2007 ini kita kembali dirundung duka, karena banjir dan tanah longsor menyertai hujan angin (hujan lebat dan angin kencang) menimpa kawasan Jawa-Nusa Tenggara.

Citra satelit pada sejak 23-27 Desember 2007 menunjukkan gejala overcast atau langit tertutup awan hujan sejak Pulau Jawa sampai Timor. Awan tersebut membawa hujan lebat dan angin kencang akibat perkembangan depresi di daerah ini (SINDO, 27/12/2007). Hujan ini rupanya secara sporadis mengakibatkan tanah longsor di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari udara terlihat genangan air hampir menggenangi 25% wilayah kedua provinsi tersebut.

Tanah longsor yang mengakibatkan sedikitnya 62 korban jiwa di daerah Desa Ledoksari, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, terjadi sejak 25 Desember 2007. Pencarian korban hingga Jumat (28/12) masih dilakukan karena beratnya medan dan sulitnya membawa alat berat ke daerah bencana. Terkait bencana ini, Presiden SBY telah memerintahkan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto memimpin penanganan bencana untuk langsung ke lapangan.

Adanya perintah pascabencana menunjukkan bahwa manajemen bencana kita belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, saat penanganan bencana gempa bumi Yogyakarta (27 Mei 2006), maupun gempa Bengkulu beberapa bulan lalu, masyarakat berkesadaran sendiri mengantisipasi bencana dengan menerapkan konsep manajemen bencana. Sehingga, meski kerusakan begitu parah, namun korban jiwanya sangat minim. Manajemen bencana kita terlihat lebih banyak dalam waktu pascabencana atau penanganan korban.

Seakan masalah kebencanaan itu dilakukan kalau ada bencana saja. Orientasi ini salah besar karena sebelum bencana itu datang, perlu diadakan beberapa upaya seperti mitigasi dan adaptasi untuk daerah-daerah yang rawan bencana. Sebelum bencana,sebenarnya secara sadar atau tak sadar, kita telah mengetahui bahwa Indonesia ini mengalami dua musim, kemarau dan musim hujan. Dalam istilah meteorologi, dikatakan adanya dua muson yang memengaruhi Indonesia (terutama Sumatera Selatan Jawa - Nusa Tenggara ), yaitu muson barat dan muson timur.

Keduanya membawa musim hujan dan musim kemarau. Musim "baratan" akan membawa musim hujan di Indonesia, ditandai dengan embusan kuat angin dominan dari arah barat. Kaya hujan karena membawa uap air sejak dari Laut China Selatan maupun perairan kita. Sedangkan muson "timuran" membawa musim kemarau, dengan angin dari timur relatif lebih calm,miskin uap air, berembus dari Benua Australia.

Dikaitkan dengan musim, sewajarnya aparat daerah rawan bencana tanah longsor dan banjir melakukan inventarisasi sebelum musim hujan datang,lalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang ada di daerah potensi bencana. Selain itu,harus mempunyai petapeta evakuasi bila terjadi bencana,peta alternatif penyaluran logistik atau persiapan logistik purwabencana. Hal ini rupanya tidak dilakukan dengan baik oleh pemerintah daerah. Mereka tidak pula mem-breakdown petapeta nasional yang dikeluarkan instansi terkait.

Seperti kita ketahui,setiap menjelang musim hujan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah mengeluarkan peta rawan longsor dan peta potensi atau kerentanan tanah.Namun, itu perlu didetailkan kembali oleh daerah masing-masing untuk digunakan mitigasi, adaptasi maupun perencanaan penanganan pascabencana. Demikian pula BMG bekerja sama dengan Departemen PU telah membuat peta rawan banjir dikaitkan dengan prakiraan hujan di musim hujan.Hanya saja, mungkin belum ditindaklanjuti di tingkat operasional dan implementasinya di daerah oleh pemda yang bersangkutan.

Dikeluarkannya peta-peta terkait potensi bencana yang mungkin terjadi ke depan oleh beberapa instansi secara nasional menunjukkan telah ada reorientasi dalam penanganan bencana dengan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen bencana baik sebelum maupun setelah bencana. Hanya, sangat mungkin belum secara baik diikuti atau diterjemahkan oleh daerah untuk masing- masing wilayahnya. Masyarakat tradisional sebenarnya telah mengenal perencanaan penanganan bencana ini,walau pada tingkat yang paling sederhana.

Seperti misalnya pada saat menjelang mongso kawolu (sekitar Februari setiap tahun), masyarakat di Jawa dan Bali mulai memangkas pepohonannya agar tidak roboh saat angin mongso kawolu. Mereka bekerja bakti membersihkan selokan di desa menjelang musim hujan agar saluran lancar, tak mampat, dan menggenangi daerahnya-sebagai upaya sebelum bencana tiba. Reorientasi itu sangat perlu dilakukan secara holistis,baik di tingkat nasional maupun daerah.Perubahan orientasi penanganan yang hanya terfokus penanganan pascabencana, diarahkan juga pada penerapan fungsi manajemen bencana di saat bencana itu belum datang, dengan perencanaan,standard operational procedure (SOP) penanganan, sosialisasi kepada masyarakat, termasuk upaya-upaya ilmiah dalam mitigasi dana adaptasi masyarakat di daerah potensi bencana.

Mengingat masalah bencana merupakan masalah multisektor, tingkat kesulitannya pun tinggi pula,terutama dalam melakukan koordinasi sehingga perlu komando yang kuat dalam penanganan manajemen bencana ini. Menyadari tingkat kesulitan dalam koordinasi tersebut, persiapan yang baik dari semua instansi terkait di daerah maupun di tingkat nasional perlu digalang secara terus-menerus, mengingat daerah kita sangat berpotensi bencana. Wilayah kita merupakan daerah yang berpotensi bencana, yang tentu masih akan mengalami bencana di waktu mendatang. Maka, upaya penanganan bencana dengan menerapkan manajemen bencana, mengubah orientasi penanganannya menjadi penanganan sesudah bencana, serta terus-menerus melakukan perencanaan,persiapan, pemasyarakatan bencana, dan sebagainya- sebelum bencana itu datang.(*)

===


Catatan : Telah dimuat di Koran Sindo

0 komentar:

Posting Komentar