“MUNGKINKAH BENCANA “JEMBLUNG”
TERJADI DI BALI?”
Oleh : I Putu Pudja
Penanganan Longsor di Bali ( www.google.com) |
Musim hujan yang sudah lama
ditunggu di tengah musim kemarau yang panjang dan lebih panas tahun ini,
ternyata membawa duka yang mendalah, Musim hujan yang ditunggu mentebabkan
bencaran alam tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan
Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Korban yang ditimbulkannya
memang belum final, baru 20 orang korban berhasil di temukan di timbunan lumpur
dan longsoran. Namun bila melihat kesulitan medan dan areal longsoran yang
berukuran sekitar 600 m x 200 m x 75 m diperkirakan korban akan bertambah
jumlahnya sejalan dengan upaya pencarian.
Melihat historical data setempat
yang merupakan daerah dengan kemiringan tinggi, delapan tahun yang lalu 2006 di
daerah yang hanya berjarak 8 km menyusuri jalan dan jarak langsung hanya
beberapa kilometer, maka daerah itu memang merupakan daerah yang sangat
berpotensi longsor.
Potensi longsor akibat kemiringan
daerah tersebut, sehingga lapisan tanah atau batuan didaerah tersebut akan
mengikuti kemrinagn tersebut. Daerah kemiringan akan lebih mudah meluncur saat
massa air menyusup mengisi dan merusak kohesifitas batuan tersebut yang sudah
retak-retak terdeformasi. Hanya saja lebih banyak krak yang tidak terlihat kaat
mata kebanding dengan yang terlihat berupa retakan di permukaan.
Deformasi terjadi akibat kuatnya
gaya tektonik yang bekerja yang menghujam segmen Jawa Tengah. Diperlihatkan
olhe banyaknya terkadi gempa bumi terutama di arah barat daya Cilacap, demikian
juga tersebar merata kearah timur sampai selatan Kali Opak dan Gunung Kidul
Wonosari. Salah satu yang yang paling melekat diingatak kita adalah Gempabumi
yang terjadi di barat daya Cilacap adalah gempabumi yang merusak di Kabupaten
Kebumen; Gempa bumi yang berpusat diselatan Jogyakarta, merupakan gempabumi
yang merusak di daerah Bantul dan sekitarnya, serta gempabumi yang eicu tsunami
di Pangandaran semuanya merupakan manifestasi bekerja dengan intens gaya
tektonik nebfhujan segmen Jawa Tengah.
Akibat gaya ini maka lapisan
terutama lapisan yang kurang kuat seperti lapisan dipermukaan akan sangat mudah
terdeformasi. Karena aktipitas tektonik inipun kemudian menyebabkan
mengaktipnya beberapa gunung api di Jawa Tengah, sebut saja Nerapi yang memang
terus terusan aktip, belakngan kita ikuti aktipitas meningkat dari Gunung
Slamet dan Gununbg Merbabu. Aktipitras gunung api nipun menyebabkan deformasi
(kerusakan) pada lapisan kulit bumi akibat desaan material magma dan gas dari
dapur magma, pada lapisan kulitbumi Jawa Tengah, sehingga deformasi yang
terjadi semakin parah.
Kondisi inilah yang memacu
longsor lebih mudah terjadi. Rekahan –krak- pada lapisan atas kulit bumi akan
mudah disusupi air, dan pengisian pori-pori semakin intens. Massa lapisan
meningkat, kohesi berkurang serta menurunnya friki menyebabkan sangat mudah
terjadi longsor pada lapisan yang lunak dan berat terisi air. Nah itulah proses
yang terjadi di Jemblung.
Meemperhatikan proses yang
terjadi di Jawa Tengah dan berdampak bencana tanah longsor Jemblung rupanya
menginspirasi BPBD di daerah Bali –BPBD Badung- untuk menerapkan tahap siaga
selama puncak musim hujan (Desember 2014 – Januari 2015) ini. Merupakan langkah
antisipasi yang baik, tapi seharusnya tidak berlebihan.
Belakangan ini memang beberapa
kali dirasakan gempa dengan intensitas yang relative sangat kecil I – II MMI di
daerah Kuta, Nusa Dua, namun tidak untk daerah lain. Dirasakannya di Nusa Dua
sangat mungkin karena perkuatan sinyal gempa didaerah ini mudah terasakan
karena sepi di malam hari dan fondasinya batu kapur yang memang sangat bagus
meneruskan gelombang gempa. Tidak ada tanda-tanda aktipitas gunung api di
daerah Bali dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun posisi dengan kemiringan
banyak dijumpai di sepanjang poros jalan penghubung Bali Selatan dan Bali
Utara, maupun di daerah Bali Timur.
Melihat kondisi ini, maka tanah
longsor memang perlu diwaspadai terlebih musim kemarau yang terjadi tahun ini
sangat panjang dan panas, sehingga pelapukan karena cuaca pada lapisan tanah
permukaan sangat mungkin terjadi. Namun deformasi yang merusak menjadikan
rekahan di lapisan permukaan tanah Bali kelihatannya tidak terlalu intens, baik
proses tektonik maupun volkanik yang cenderung tanang untuk beberapa tahun
belakangan ini.
Bila kita menganalogkan proses
fisis yang mengakibatkan bencana longsor di Jemblung dan diproueksikan dengan
kondisi di Bali, maka sangat kecil kemungkinan bencana tanah longsor yang
sebesar Jemblung terjadi di Bali. Kalaupun terjadi longsor sangat mungkin akan
memiliki skala skala yang kecil, longsor tebing karena kerusakan lingkungan
atau karena beban pepohonan yang tidak terawatt oleh masyarakat.
Mengantisipasi hal itu maka apa
yang dilakukan BPBD Kabupaten Badung merupakan langkah antisipatif yang tepat.
Namun BPBD sebaiknya memberikan pembelajaran kepada masyarakat di daerah yang
rentan bencana, apalagi diinformasikan instansi tersebut telah memiliki peta kerentanan
bencana. Masyarakat setempat diajak memitigasi dan mengantisipasi dengan
memberikannya penyuluhan, sosialisasi, pembelajaran –entah apa namanya- agar
mereka menjadi masyarakat sadar bencana, tahu bagaimana memitigasi bagaimana
merawat lahan dikemiringan, dimana mereka boleh bermukim, bagaimana ciri-ciri
akan terjadi longsor, peristiwa apa saja yang dapat mendahuluinya dan lain
sebagainya termasuk peta jalan untuk mengungsi dan evakuasi sudah dipersiapkan
dengan baik. Jangan sampai mereka pergi menyelamatkan diri malah melalui atau
menuju daerah yang lebih berbahaya.
Dalam
memasuki puncak musim hujan 2014-2015 ini, dikaitkan dengan tanah longsor
potensi tanah longsor memang ada di Bali, umumnya sudah diketahui masyarakat
karena kejadiannya tak akan jauh dari lokasi yang pernah terjadi, hanya saja
potensi untuk terjadi bencana seperti yang terjadi di Jemblung Banjarnegara,
peluangnya sangat kecil. Langkah BPBD
yang menerapkan level siaga bagi aparatnya selama puncak musim hujan ini
merupakan langkah yang tepat, hanya
perlu dikemas agar tidak kelihatan berlebihan.
Penulis : Dosen Sekolah Tinggi
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Longsor "Jemblung" di Bali?,