Bulan Juni 1992 merupakan bulan yang mungkin akan membawa sejarah baru, sebagai tonggak sejarah dalam permasalahan lingkungan hidup. Tanggal 5 Juni merupakan Hari Lingkungan Hidup sedunia yang dikaitkan dengan akan dilaksanakannya Konferensi Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro, Brasil.
Banyak persiapan dilakukan masing-masing negara yang kelihatannya akan membuat kutub. Kutub negara-negara berkembang dan kutub negara-negara industri. Masing-masing kutub akan memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Yang jauh-jauh hari telah terdengar saling tuding dalam pengrusakan lingkungan, masalah pemanasan global, sampai masalah perubahan iklim secara global, terutama dalam perannya sebagai sumber pembuang gas karbon oksida (CO2 dan CO) maupun pengrusak lapisan ozon. Serta mempersiapkan bahan-bahan dan strategi masing-masing.
Bila mengikuti perdebatan tersebut, kita bisa bingung. Terutama bila kita berada di pihak yang netral saja. Terlebih lagi bila kita mengikuti berbagai macam pernyataan yang satu sama lain sama-sama berdasar dan sama-sama memiliki kelemahan yang fatal dapat menjatuhkan masing-masing.
Demikian pula pernyataan para pakar di Indonesia yang kelihatannya sangat ditentukan oleh kiblat acuan teori mereka nampaknya saling kontradiksi satu sama lain. Sehingga dapat membuat masyarakat awam makin bingung, seakan berdiri di persimpangan yang sulit menentukan arah yang akan dituju.
Berkaitan dengan kejadian tersebut penulis mengajak pembaca ikut menengok beberapa pendapat yang terkait dengan permasalahan lingkungan yang memang agak bertentangan satu sama lainnya, baik dari data yang didapat maupun dari teori yang dipakai dasar pernyataan. Khususnya untuk masalah yang terkait dengan perubahan iklim, pemanasan global, serta lingkungan kita pada lingkup yang lebih sempit.
Tidak Cukup Kuat
Dua data yang banyak dilangsir dari Tanah Air tentang adanya pemanasan global, yang merupakan dampak dari efek rumah kaca (ERK) adalah adanya trend peningkatan suhu udara permukaan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di sepanjang pantai utara Jawa. Serta meningkatnya permukaan laut yang diamati dari tahun ke tahun di pantai sekitar Laut Jawa.
Data malar hasil peramatan suhu udara di Jakarta, misalnya, dari tahun ke tahun menunjukkan gejala meningkat. Bila kita mendasarkan adanya pemanasan global dengan peningkatan suhu perkotaan ini, maka kita akan kecewa karena pengamatan data yang sama untuk kota Medan (yang sama-sama menjadi kota urban) menunjukkan gejala menurun walau tidak sedrastis kenaikan suhu Jakarta.
Hampir semua data terakhir untuk pantai yang bersisian dengan Laut Jawa terlihat adanya kenaikan paras muka air laut sampai 0,5 cm pertahun. Bila berpegang pada pakem skenario dampak pemanasan global akibat ERK maupun pengrusakan lapisan ozon, maka segera dapat dikatakan hal itu sebagai bagian darinya. Bukti nyata kejadian ini gampang dilihat dengan semakin jauhnya dari garis pantai kota Semarang yang pada peta zaman dahulu persis berada di tepi pantai.
Teori yang sama juga dipakai dasar oleh seorang pakar lingkungan di Indonesia untuk memperkirakan pada awal abad mendatang (bila skenario itu memang berjalan) akan naiknya garis pantai yang akan menenggelamkan sebagian Irian Jaya yang kita kenal memiliki paras yang sangat menonjol tersebut dibandingkan dengan pulau lainnya.
Namun bila kita melihat apa yang diamati di perairan Ambon terhadap paras muka laut akan kita jumpai hal yang bertentangan. Yaitu adanya penurunan muka air laut. Hal ini membuat kita semakin kecewa dengan teori itu. Padahal secara teori maupun skenario pemanasan global dikatakan bahwa paras permukaan laut khatulistiwa akan mengalami kenaikan. Sedangkan es di daerah kutub mengalami pencairan.
Hal kenaikan paras muka air laut itu belakangan, rupanya, banyak diragukan karena dalam perhitungan skenarionya hanya memakai perhitungan numerik dengan simulasi komputer. Sudah kita maklumi hal itu untuk memudahkan masalah dengan berbagai penyederhanaannya sehingga menyimpang dari persamaan matematika yang memang sangat kompleks.
Dari Tanah Air yang secara kontroversial meragukan, bahkan menentang, teori dan skenario tersebut, terdengar dari Yogyakarta yaitu dari seorang pakar energi yang mengembangkan tungku hemat energi, yaitu Prof. Johannes. Dia juga banyak mengomentari perdebatan seru antar negara berkembang yang hendak bermufakat menghadapi negara industri maju di Earth Summit 1992.
Jadi dua masalah yang sering diangkat ke permukaan bertalian dengan ERK dan pemanasan global yang diamati di Indonesia rupanya masih tidak cukup kuat dalam mendukung skenario yang dikaitkan dengan meningkatnya gas rumah kaca, kerusakan ozon itu. Terlebih lagi dengan simulasi komputasi yang dilakukan dalam membuat dasar skenario itu.
Ibarat Judi “Ceki”
Kerusakan lapisan ozon (O3) – yang merupakan selimut planet Bumi dari sengatan sinar ultraviolet – juga banyak dibicarakan para pakar lingkungan. Sama halnya dengan data yang terpantau di Indonesia. Untuk lapisan ozon yang dikatakan lubangnya semakin melebar ini akibat ulah konsumtif penghuni bumi dengan pemakaian flour dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kosmetika maupun obat semprot, alat pendingin dalam mengatasi kepanasan udara merupakan penghasil CFC ke atmosfer.
Banyak pakar kebumian dan antariksa meragukan hasil temuan ini mengingat teknologi satelit yang digunakan dalam pemantauan lapisan ozon ini berkembangnya relatif baru. Sehingga sebagai bahan studi perbandingan sangat sulit melihatnya. Evolusi perkembangan lubangnya sangat sulit dibandingkan, karena tidak adanya acuan dari tahun-tahun lampau. Beberapa pakar menduga keadaan tersebut sudah demikian dari dulu.
Bahkan beberapa pakar memperkirakan lapisan ozon tersebut memiliki lubang yang berkontraksi yang besarnya selalu berubah. Bisa semakin besar pada suatu periode dan bertambah kecil kembali dalam periode lainnya. Terlebih lagi mereka yang berbasis fisika. Mereka akan selalu menganut teori kesetimbangan. Dengan bertambah besarnya di satu sisi, berarti ada yang bertambah kecil pada sisi lainnya.
Demikian pula halnya dengan kerusakan lapisan ozon ini. Rupanya masih diperlukan waktu serta acuan dalam menjadikannya argumentasi dalam menuding sifat konsumerisme masyarakat dalam pencipta CFC di atmosfer. Kalaupun itu benar adanya, masalahnya pun tidak akan berhenti cukup sampai di sana. Tentu akan berbuntut lebih panjang, masih mencari dosa siapa, apakah dosa si produsen atau dosa di konsumen.
Ini akan sama rumitnya dengan pelarangan judi domino atau ceki. Permainannya sebagai judi dilarang, tetapi pabrik kartunya jalan terus. Ya tidak akan mencapai hasil maksimal.
Genderang Perang
Di Indonesia, di tengah isu pemanasan global yang masih diperdebatkan, sebenarnya secara perlahan namun pasti sungguh banyak masalah lingkungan yang masih perlu mendapatkan perhatian serta prioritas yang lebih tinggi.
Lihat saja kasus pencemaran air sungai akibat pembuangan limbah cair oleh industri yang sangat banyak jumlahnya mendapat peringatan dalam gebrakan Menteri KLH belum lama ini. Sudah jelas kasus ini akan berdampak pada laju pembangunan kita. Kasus pencemaran sungai itu jelas akan mempengaruhi kualitas air sungai yang masih kita akui merupakan sumber air utama masyarakat kita, akibat kemampuan PDAM dalam menyediakan air bersih masih rendah.
Yang paling mencolok dan menjadi topik masalah lingkungan kita adalah limbah padat perkotaan atau sampah yang merupakan masalah yang akan kronis karena masa inkubasinya sangat panjang. Tidak mustahil akan dihadapi hampir semua daerah urban di Indonesia, sehingga perlu penanganan serius. Dan gerakan “Peduli” yang dicanangkan belakangan ini merupakan langkah yang patut diacungi jempol.
Selain itu masalah kebakaran hutan tropis di Kalimantan, yang hampir setiap tahun kita alami secara berkepanjangan, secara perlahan akan menggerogoti hutan di sana. Ini mengisyaratkan betapa ketinggalannya armada kebakaran kita dalam usaha pemadaman secara cepat proses kebakaran itu. Ini merupakan contoh lain lingkup kecil masalah lingkungan yang sampai saat ini belum dapat kita pecahkan.
Ketiga hal tersebut masih merupakan contoh lingkup kecil dalam masalah lingkungan hidup yang kalau kita inventarisasikan akan menjadi deretan panjang. Selain tentunya masalah lingkungan kita yang tak terpisahkan dengan masalah lingkungan global.
Semuanya itu mengingatkan kita, khususnya pengelola masalah lingkungan, terlebih yang terkait dengan Earth Summit, untuk tidak selalu memandang masalah lingkungan secara global saja mentang-mentang era globalisasi. Dan hendaknya selalu mewaspadai permasalahan lingkungan pada lingkup yang lebih kecil sehingga penanganannya pun tentu akan lebih sederhana.
Secara nasional, dengan langkah Menteri KLH yang memulai dari penertiban masalah pencemaran air sungai, kelihatannya program Prokasih (dan akan dilanjutkan dengan penertiban pencemar lainnya terhadap pencemar lingkungan laut dan udara di tahun-tahun mendatang) rupanya merupakan usaha yang mengarah ke sana.
Namun untuk daerah belum begitu terdengar gaungnya, padahal setiap daerah sudah ada Biro BLKH-nya. Mudah-mudahan saja genderang perang terhadap pencemar lingkungan yang sudah dikumandangkan Menteri KLH juga dilanjutkan biro-biro KLH di daerah, tentu saja dengan Bapedal daerah yang sudah dimilikinya.
Dan pada kesempatan ini tidaklah salah bila kita ucapkan Selamat Hari Lingkungan Hidup, semoga kita tetap setimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan kita.
Dimuat di harian Sinar Harapan tanggal 31 Mei 1992.
Banyak persiapan dilakukan masing-masing negara yang kelihatannya akan membuat kutub. Kutub negara-negara berkembang dan kutub negara-negara industri. Masing-masing kutub akan memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Yang jauh-jauh hari telah terdengar saling tuding dalam pengrusakan lingkungan, masalah pemanasan global, sampai masalah perubahan iklim secara global, terutama dalam perannya sebagai sumber pembuang gas karbon oksida (CO2 dan CO) maupun pengrusak lapisan ozon. Serta mempersiapkan bahan-bahan dan strategi masing-masing.
Bila mengikuti perdebatan tersebut, kita bisa bingung. Terutama bila kita berada di pihak yang netral saja. Terlebih lagi bila kita mengikuti berbagai macam pernyataan yang satu sama lain sama-sama berdasar dan sama-sama memiliki kelemahan yang fatal dapat menjatuhkan masing-masing.
Demikian pula pernyataan para pakar di Indonesia yang kelihatannya sangat ditentukan oleh kiblat acuan teori mereka nampaknya saling kontradiksi satu sama lain. Sehingga dapat membuat masyarakat awam makin bingung, seakan berdiri di persimpangan yang sulit menentukan arah yang akan dituju.
Berkaitan dengan kejadian tersebut penulis mengajak pembaca ikut menengok beberapa pendapat yang terkait dengan permasalahan lingkungan yang memang agak bertentangan satu sama lainnya, baik dari data yang didapat maupun dari teori yang dipakai dasar pernyataan. Khususnya untuk masalah yang terkait dengan perubahan iklim, pemanasan global, serta lingkungan kita pada lingkup yang lebih sempit.
Tidak Cukup Kuat
Dua data yang banyak dilangsir dari Tanah Air tentang adanya pemanasan global, yang merupakan dampak dari efek rumah kaca (ERK) adalah adanya trend peningkatan suhu udara permukaan di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di sepanjang pantai utara Jawa. Serta meningkatnya permukaan laut yang diamati dari tahun ke tahun di pantai sekitar Laut Jawa.
Data malar hasil peramatan suhu udara di Jakarta, misalnya, dari tahun ke tahun menunjukkan gejala meningkat. Bila kita mendasarkan adanya pemanasan global dengan peningkatan suhu perkotaan ini, maka kita akan kecewa karena pengamatan data yang sama untuk kota Medan (yang sama-sama menjadi kota urban) menunjukkan gejala menurun walau tidak sedrastis kenaikan suhu Jakarta.
Hampir semua data terakhir untuk pantai yang bersisian dengan Laut Jawa terlihat adanya kenaikan paras muka air laut sampai 0,5 cm pertahun. Bila berpegang pada pakem skenario dampak pemanasan global akibat ERK maupun pengrusakan lapisan ozon, maka segera dapat dikatakan hal itu sebagai bagian darinya. Bukti nyata kejadian ini gampang dilihat dengan semakin jauhnya dari garis pantai kota Semarang yang pada peta zaman dahulu persis berada di tepi pantai.
Teori yang sama juga dipakai dasar oleh seorang pakar lingkungan di Indonesia untuk memperkirakan pada awal abad mendatang (bila skenario itu memang berjalan) akan naiknya garis pantai yang akan menenggelamkan sebagian Irian Jaya yang kita kenal memiliki paras yang sangat menonjol tersebut dibandingkan dengan pulau lainnya.
Namun bila kita melihat apa yang diamati di perairan Ambon terhadap paras muka laut akan kita jumpai hal yang bertentangan. Yaitu adanya penurunan muka air laut. Hal ini membuat kita semakin kecewa dengan teori itu. Padahal secara teori maupun skenario pemanasan global dikatakan bahwa paras permukaan laut khatulistiwa akan mengalami kenaikan. Sedangkan es di daerah kutub mengalami pencairan.
Hal kenaikan paras muka air laut itu belakangan, rupanya, banyak diragukan karena dalam perhitungan skenarionya hanya memakai perhitungan numerik dengan simulasi komputer. Sudah kita maklumi hal itu untuk memudahkan masalah dengan berbagai penyederhanaannya sehingga menyimpang dari persamaan matematika yang memang sangat kompleks.
Dari Tanah Air yang secara kontroversial meragukan, bahkan menentang, teori dan skenario tersebut, terdengar dari Yogyakarta yaitu dari seorang pakar energi yang mengembangkan tungku hemat energi, yaitu Prof. Johannes. Dia juga banyak mengomentari perdebatan seru antar negara berkembang yang hendak bermufakat menghadapi negara industri maju di Earth Summit 1992.
Jadi dua masalah yang sering diangkat ke permukaan bertalian dengan ERK dan pemanasan global yang diamati di Indonesia rupanya masih tidak cukup kuat dalam mendukung skenario yang dikaitkan dengan meningkatnya gas rumah kaca, kerusakan ozon itu. Terlebih lagi dengan simulasi komputasi yang dilakukan dalam membuat dasar skenario itu.
Ibarat Judi “Ceki”
Kerusakan lapisan ozon (O3) – yang merupakan selimut planet Bumi dari sengatan sinar ultraviolet – juga banyak dibicarakan para pakar lingkungan. Sama halnya dengan data yang terpantau di Indonesia. Untuk lapisan ozon yang dikatakan lubangnya semakin melebar ini akibat ulah konsumtif penghuni bumi dengan pemakaian flour dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kosmetika maupun obat semprot, alat pendingin dalam mengatasi kepanasan udara merupakan penghasil CFC ke atmosfer.
Banyak pakar kebumian dan antariksa meragukan hasil temuan ini mengingat teknologi satelit yang digunakan dalam pemantauan lapisan ozon ini berkembangnya relatif baru. Sehingga sebagai bahan studi perbandingan sangat sulit melihatnya. Evolusi perkembangan lubangnya sangat sulit dibandingkan, karena tidak adanya acuan dari tahun-tahun lampau. Beberapa pakar menduga keadaan tersebut sudah demikian dari dulu.
Bahkan beberapa pakar memperkirakan lapisan ozon tersebut memiliki lubang yang berkontraksi yang besarnya selalu berubah. Bisa semakin besar pada suatu periode dan bertambah kecil kembali dalam periode lainnya. Terlebih lagi mereka yang berbasis fisika. Mereka akan selalu menganut teori kesetimbangan. Dengan bertambah besarnya di satu sisi, berarti ada yang bertambah kecil pada sisi lainnya.
Demikian pula halnya dengan kerusakan lapisan ozon ini. Rupanya masih diperlukan waktu serta acuan dalam menjadikannya argumentasi dalam menuding sifat konsumerisme masyarakat dalam pencipta CFC di atmosfer. Kalaupun itu benar adanya, masalahnya pun tidak akan berhenti cukup sampai di sana. Tentu akan berbuntut lebih panjang, masih mencari dosa siapa, apakah dosa si produsen atau dosa di konsumen.
Ini akan sama rumitnya dengan pelarangan judi domino atau ceki. Permainannya sebagai judi dilarang, tetapi pabrik kartunya jalan terus. Ya tidak akan mencapai hasil maksimal.
Genderang Perang
Di Indonesia, di tengah isu pemanasan global yang masih diperdebatkan, sebenarnya secara perlahan namun pasti sungguh banyak masalah lingkungan yang masih perlu mendapatkan perhatian serta prioritas yang lebih tinggi.
Lihat saja kasus pencemaran air sungai akibat pembuangan limbah cair oleh industri yang sangat banyak jumlahnya mendapat peringatan dalam gebrakan Menteri KLH belum lama ini. Sudah jelas kasus ini akan berdampak pada laju pembangunan kita. Kasus pencemaran sungai itu jelas akan mempengaruhi kualitas air sungai yang masih kita akui merupakan sumber air utama masyarakat kita, akibat kemampuan PDAM dalam menyediakan air bersih masih rendah.
Yang paling mencolok dan menjadi topik masalah lingkungan kita adalah limbah padat perkotaan atau sampah yang merupakan masalah yang akan kronis karena masa inkubasinya sangat panjang. Tidak mustahil akan dihadapi hampir semua daerah urban di Indonesia, sehingga perlu penanganan serius. Dan gerakan “Peduli” yang dicanangkan belakangan ini merupakan langkah yang patut diacungi jempol.
Selain itu masalah kebakaran hutan tropis di Kalimantan, yang hampir setiap tahun kita alami secara berkepanjangan, secara perlahan akan menggerogoti hutan di sana. Ini mengisyaratkan betapa ketinggalannya armada kebakaran kita dalam usaha pemadaman secara cepat proses kebakaran itu. Ini merupakan contoh lain lingkup kecil masalah lingkungan yang sampai saat ini belum dapat kita pecahkan.
Ketiga hal tersebut masih merupakan contoh lingkup kecil dalam masalah lingkungan hidup yang kalau kita inventarisasikan akan menjadi deretan panjang. Selain tentunya masalah lingkungan kita yang tak terpisahkan dengan masalah lingkungan global.
Semuanya itu mengingatkan kita, khususnya pengelola masalah lingkungan, terlebih yang terkait dengan Earth Summit, untuk tidak selalu memandang masalah lingkungan secara global saja mentang-mentang era globalisasi. Dan hendaknya selalu mewaspadai permasalahan lingkungan pada lingkup yang lebih kecil sehingga penanganannya pun tentu akan lebih sederhana.
Secara nasional, dengan langkah Menteri KLH yang memulai dari penertiban masalah pencemaran air sungai, kelihatannya program Prokasih (dan akan dilanjutkan dengan penertiban pencemar lainnya terhadap pencemar lingkungan laut dan udara di tahun-tahun mendatang) rupanya merupakan usaha yang mengarah ke sana.
Namun untuk daerah belum begitu terdengar gaungnya, padahal setiap daerah sudah ada Biro BLKH-nya. Mudah-mudahan saja genderang perang terhadap pencemar lingkungan yang sudah dikumandangkan Menteri KLH juga dilanjutkan biro-biro KLH di daerah, tentu saja dengan Bapedal daerah yang sudah dimilikinya.
Dan pada kesempatan ini tidaklah salah bila kita ucapkan Selamat Hari Lingkungan Hidup, semoga kita tetap setimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan kita.
Dimuat di harian Sinar Harapan tanggal 31 Mei 1992.
Yang Lokal Tak Kalah Penting Dari Yang Global