Rabu, 28 April 2010

Melirik Kemungkinan Sumber Energi Baru

Masalah energi tidak akan henti-hentinya menjadi topik pembicaraan sepanjang ketergantungan utama akan sumber energi dunia pada sumber energi fosil (BBM ataupun batubara). Masalah ini bahkan dapat mempengaruhi stabilitas dunia, seperti apa yang baru-baru dialami masyarakat Teluk Persia, yang lebih banyak dikaitkan pada sumber energi tersebut.
Di Indonesia, sejak bulan Maret ’91 lalu santer terdengar adanya krisis energi listrik yang selama ini sebagian besar tergantung pada Perum Listrik Negara (PLN). Krisis energi dialami oleh sedikitnya 6 (enam) daerah yang umumnya berada di Pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, juga dibicarakan lewat media massa adanya rencana akan kenaikan tarif listrik PLN, namun masyarakat sebagai konsumen umumnya pasrah menerima. Selama ini kenaikan itu selalu datangnya dari pihak PLN dan konsumen seolah-olah berada pada pihak yang lemah. Terlepas dari itu semua, terlihat PLN sudah terlambat mengantisipasi atau memang kemampuannya yang sangat terbatas dalam menghadapi lonjakan kebutuhan akan daya listrik. Sehingga program listrik masuk desapun akan agaknya terpaksa tersendat realisasinya bila melihat kondisi yang demikian. Bila kita tinjau sejenak, generator PLN selama ini sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil (batu bara dan minyak diesel) atau tenaga air untuk memutar turbin yang biasa dikenal sebagai PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Kedua jenis itu, tampaknya secara intensif dibangun pada tahun-tahun terakhir.
Untuk pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil, di antaranya PLTG yang menggunakan bahan bakar batu bara terlihat dengan gagah di Suralaya, yang memasok sebagian listrik di Jawa ada juga, PLTG Paiton yang dalam tahap perampungan. Jenis ini terkenal sangat produktif dalam menghasilkan limbah sehingga menjadi masalah baru dalam pembuangannya. Untuk PLTA, terlihat sangat banyak yang dibangun pemerintah dewasa ini seperti sepanjang sungai Citarum saja berdiri tiga waduk besar yang multiguna, yaitu Jatiluhur, Saguling, dan Cirata. Di Jawa Tengah yang sampai saat ini masalahnya masih berbuntut adalah pembangunan Waduk Kedung Ombo, diharapkan dapat ikut menambah daya listrik terpasang di Pulau Jawa.
Di luar ini, masih banyak waduk-waduk yang lebih kecil yang dibangun dengan harapan yang sama. Kalau kita tinjau lebih jauh lagi kondisi, posisi geografis serta volkanis daerah wilayah Indonesia, sangatlah mungkin untuk mencari sumber energi alternatif dalam pemecahan masalah kelistrikan di tanah air, walau dengan kapasitas tentunya relatif lebih kecil. Dalam kaitan kondisi perlistrikan di Indonesia tulisan ini akan mengajak masyarakat meninjau kembali dan membicarakan yang dapat berperan dalam pilihan sumber energi alternatif dalam pengadaan listrik di tanah air yang sangat beragam.

Panas Bumi
Di Indonesia yang terkenal sebagai daerah vulkanis (gunung api), memiliki banyak gunung api aktif yang digolongkan pada type A, B, dan C, serta gunung-gunung api yang sudah dinyatakan tidak berfungsi lagi (mati), yang diharapkan merupakan sumber energi. Keberadaan gunung api itu sudah lama dieksplorasi untuk ikut memasok energi listrik setempat. Di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) yang sudah lama berproduksi. Antara lain PLTPB Kamojang (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), Lahendong (Sulawesi Utara). Dan daerah lain yang masih diteliti dari segi teknis dalam sumber energi panas bumi ini sangat banyak. Kesemua dari PLTPB ini memanfaatkan panas bumi yang timbul ke permukaan pada daerah gunung api yang sudah padam.
Seperti daerah-daerah potensi panas bumi di Banten, Cisolok, Wayang Windu, Patuha, Darajat, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Lawu, Wilis (Jawa Timur), Merapi (Sumbar), Air Panas (Bali) beberapa di Sulawesi Utara, Maluku Utara dan NTT, sangat berpotensi akan penyediaan panas bumi sebagai salah satu sumber energi. Sedang yang banyak diimpikan para ilmuwan kebumian akan pemanfaatan energi magma dari gunung api yang masih aktif yang sedang diteliti di mancanegara. Keberhasilannya sangat dinantikan mengingat tidak sedikit gunung api aktif yang kita miliki. Teknologi yang ini di samping dapat menyediakan sumber energi, juga akan mampu melepas secara wajar energi magma dari gunung api bersangkutan sehingga letusanpun dapat dikendalikan.

Bayu Dan Samudera
Kondisi geografis Indonesia yang berpulau-pulau, mengakibatkan akan adanya pantai yang panjang serta laut yang mengitarinya. Kedua ini sangat berpotensi dalam ikut memecahkan masalah penyediaan energi listrik.
Secara regional posisi Indonesia di daerah tropis akan dilewati oleh dua jenis angin muson setiap tahunnya. Yaitu muson (monsoon) Barat dan Timur yang saling bergantian enam bulan sekali yang melintasi wilayah Indonesia. Sedang yang lebih lokal, daerah pantai merupakan daerah transportasi angin sepanjang hari yaitu angin darat dan angin laut. Termasuk daerah lembah demikian juga akan dilewati angin lembah dan angin gunung secara bergantian sepanjang hari. Tentu saja tidak semua pantai yang menguntungkan dalam penyediaan angin yang cukup sebagai pemutar turbin, namun pantai yang kondisinya seperti pantai Baron, Parang Teritis menurut beberapa survey yang telah dilakukan dinyatakan layak dalam segi teknis. Dengan inspirasi dan meniru dari segi suksesnya yang dilakukan di negeri Belanda untuk memompa air laut supaya tidak menggenangi negara tersebut yang memang berada pada ketinggian minus dari permukaan air laut, pemanfaatan energi samudera atau laut Indonesia dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber energi dari dinamika ombak yang secara kontinyu bergerak menerpa pantai sepanjang waktu. Namun pemanfaatannya agak sulit karena garis pasang surutnya sangat variatip.
Kecuali itu dalam pemanfaatan energi samudera ini dapat dimanfaatkan adanya arus pusar vertikal yang banyak terdapat di wilayah perairan seperti di Laut Jawa dan Utara Bali. Arus ini terjadi akibat perbedaan salinitas serta gradient thermal yang terdapat pada air laut.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam salah satu programnya telah mulai mempelajari kemungkinan energi ini.

Energi Biogas
Masyarakat agraris yang menjadi ciri dari masyarakat pedesaan kita pada umumnya, rupanya akan tetap menjadi tulang punggung dalam swasembada pangan. Limbah pertanian, dalam hal ini peternakan yang dilakukan petani di pedesaan dan limbah sampah di perkotaan dapat diolah dengan teknologi biogas. Secara tidak langsung, teknologi itu akan membantu pengelolaan limbah pertanian, peternakan maupun sampah perkotaan yang sampai saat ini memang merupakan problema besar.
Peralihan ke energi ini juga akan turut membatasi masyarakat pedesaan dalam pemanfaatan energi kayu api dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dari segi kebersihan akan didapatkan energi biogas dapat juga menghasilkan energi. Yang bermutu tinggi, sementara menghasilkan peralatan yang dipakai tetap bersih, sehingga tingkat kesehatan masyarakat pun akan meningkat.

Energi Surya
Sampai saat ini konsep dasar tentang cahaya yang dianut ilmuwan adalah konsep dualisme cahaya. Dalam pemahamannya cahaya merupakan partikel yang disebut kuanta-kuanta sebagai pembawa energi, di lain pihak dianggap sebagai gelombang elektromagnetik yang dari suatu tempat dan sumbernya akan memindahkan energi ke tempat yang dilaluinya. Konsep ini membuka tabir adanya efek photon listrik yang kemudian mengilhami adanya teknologi energi surya, dengan sel-sel surya (panel surya). Bahkan terlihat adanya saling mendukung antara kedua konsep tersebut. Dengan anggapan kuanta energi pada jalaran cahaya akan memudahkan penjelasan adanya paket-paket energi yang memiliki massa sehingga akan memiliki momentum bila menumbuk logam dan menjadikan muatan bebas pada logam bergerak karena adanya energi kinetik setelah tumbukan. Aliran partikel bermuatan bebas yang dikenal sebagai elektron itu, merupakan aliran listrik yang bisa dimanfaatkan seperti listrik yang dipakai sehari-hari.
Besarnya energi oleh Planck, kemudian dapat ditentukan, karena setiap kuanta energinya hanya ditentukan oleh frekuensinya, yang juga merupakan salah satu parameter gelombang. Dengan demikian dalam penentuan energi kuantanya ini kedua isme baik konsep partikel maupun konsep gelombang saling menguatkan. Besar setiap energi kuanta tersebut adalah “Ep = hf” dengan Ep adalah energi kuanta photon, h adalah konstanta Planck = 6,6 x 10^-34 Js dan f adalah frekuensi gelombang cahaya dalam hertz. Apabila energi photon ini melebihi dari fungsi kerja logam yang ditumbuk akan terjadi photon listrik yang kita kenal sebagai energi surya.
Untuk Indonesia yang berkondisi banyak daerah dan pulau terpencil, serta berada di daerah khatulistiwa, teknologi surya ini merupakan salah satu alternatif dalam mempercepat program listrik masuk desa, yang akan membantu lebih cepatnya pemerataan pembangunan maupun informasi yang umumnya sangat tergantung pada listrik ini. Kondisi negara kita lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan negara-negara subtropik maupun negara-negara yang berada di lintang tinggi karena Indonesia mengalami matahari bersinar sepanjang tahun. Lama rata-rata penyinaran matahari seperti yang didapat dari hasil penelitian seorang pakar radiasi BMG, Sasmito (1986) yaitu lama matahari bersinar rata-rata di atas 50 persen lama matahari bersinar maksimum (12 jam) seharinya.
Ini didapat analisis data pengamatan lama penyinaran matahari yang diamati dari hari ke hari dengan alat seperti terlihat pada gambar yang terpasang pada stasiun-stasiun meteorologi yang dikelola BMG. Teknologi ini sudah diujicobakan pada desa surya yaitu desa Sukatani, Sukabumi tahun lalu oleh BPPT sebagai pilot projek.

Penganekaragaman
Bila belajar dari pengalaman tentang adanya gejala krisis listrik yang dialami enam daerah yang dipasok PLN yang mengandalkan hampir sebagian besar sumber dayanya dari pembangkit dengan bahan bakar fosil dan tenaga air, sudah saatnya penganekaragaman sumber energi untuk pembangkit listrik, yang kondisinya sangat mungkin untuk dikembangkan.
Memperbanyak pengeksplorasian sumber energi panasbumi, energi surya, rupanya akan mampu mempercepat program listrik masuk desa dan mengurangi dampak pencemaran akibat limbahnya, karena kedua sumber energi ini dapat dikatakan bebas limbah.

Dimuat di harian Suara Pembaruan

0 komentar:

Posting Komentar