Rabu, 14 Oktober 2015

Predikdi Gempabumi



PENGANTAR PEMAHAMAN DAN PENCERAHAN PREDIKSI GEMPABUMI

Beberapa hari belakangan ini, masyarakat khususnya masyarakat ibu kota meributkan masalah gempabumi, yang katanya akan menimpa daerah ibu kota dengan kekuatan 8,7 Skala Richter (SR). Debatpun digelar di TV One dengan mendengarkan pendapat para ‘pakar’ diantaranya Dr Surono dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Dr Cecep Subarya (Bakosurtanal(?)). Penulis berkali kali pada saat diskusi tersebut mendapat pertanyaan dari BBM, BBM Group, SMS maupun langsung via telepon.
Hal itu menunjukkan bahwa : Pertama masyarakat sangat perhatian terhadap keselamatan mereka terkait dengan bencana gempabumi yang di prediksi akan terjadi dengan kekuatan 8,7 SR; Kedua : masyarakat sangat cepat lupa, bahwa ibukota bukanlah daerah yang gempagenic; Ketiga : masih saja percaya dengan prediksi sejenis, padahal sudah beberapa terjadi pr4ediksi serupa akan tetapi belum pernah ada buktinya, dan Keempat serta sete seterusnya  masih banyak lagi diantaranya tentu kita patut sekali bertanya apakah gempabumi itu da[at diprediksi pada saat ini.
Untuk menjawab pertanyaan terakhir sebagai masukan dan pencerahan terhadap masyarakat tentang prediksi gempabumi tersebut, sebaiknya kita lihat proses fisis gempabumi sehingga mereka lebih dapat menyikapi berita-berita sejenis di masa mendatang.
Gempabumi adalah peristiwa bergetarnya bumi secara tiba tiba sebagai akibat pelepasan energi di dalam bumi,  yang diawali dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi. Akumulasi energi penyebab terjadinya gempabumi dihasilkan dari energy strain dan stress karena tertahannya pergerakan relatif lempeng-lempeng tektonik, oleh lempeng yang salin bertemu.

Disini terjadi suatu proses fisis yang terjadi jauh sebelum gemoa itu terjadi. Lempeng tektonik akibat pergerakan relatifnya satu sama lain mengakibatkan ada penekanan yang intensif pada pertemuan antar lempeng. Pada pertemuan antar lempeng ini akan terakumulasi eneri stress akibat tekanan satu sama lain.

Batuan yang mengalami akumulasi ini akan mengalami perubahan fisis sehingga akan mempengaruhi medan disekitar daerah yang mengalami stress  tersebut. Mengingat sifat fisis batuan kulit bumi yang sangat ditentukan oleh kandungan materialnya maka perubahan medan dapat terjadi pada medan gravitasi, medan magnet, edan listrik statis, medan radioaktif (radon), dll sifat fisis lainnya dari batuan.  Juga diperkenalkan adanya perubahan yang sangat signifikan terhadap perubahan medan energy tektonik, yang dapat direkam dengan pendulum, dan banyak dikembangkan pakar seismologi Eropa Timur sambil memperkenalkan gelombang tektonik, namun yang terakhir ini masih banyak diperdebatkan.

Perubahan medan ini juga ditengarai dapat ditangkap oleh binatang. Sehingga merela mengalami perubahan prilaku beberapa saat sebelum gempa terjadi. Sebagai contoh prilaku ikan sejenis lele di Jepang, panda dan cacing tanah di China, di Indonesia sesaat sebelum gempa Tasikmalaya, prilaku binatang di Taman Safari banyak yang mengalami perubahan seperi gajah, singa dll.

Ini semua menunjukkan memang benar ada perubahan medan sebelum gempa itu terjadi. Perubahan medan gravitasi, medan magnet bumi, medan lsitrik statis bumi, VET (Volume Elektic Total ) di udara mengalami perubahan. Hanya saja hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi sangat variatif dalam kualitas maupun jeda waktunya sebelum gempabumi  terjadi.  Ini menyulitkan sangat sulit menentukan waktu akan terjadinya gempabumi dengan tepat sangat sulit dilakukan. Demikian pula untuk lokasi yang tepatpun sulit dilakukan mengingat bumi merupakan laboratorium yang secara spasial susah diisolasi.

Daerah yang mengalami stress akan mengalami perubahan kandungan air, akibat porositasnya yang berubah sehingga akan mempengaruhi kecepatan gelombang seoismik kalau melintas daerah tersebut, terutama perubahan kecepatan gelomban transversalnya yang oleh seismolog ditengarai sebagai gelombang shear atau gelombangs kunder (S). Yang sering digunakan disini adalah perubahan rasio kecepatan gelombang P dan kecepatan gelombang S.

Proses ini diamati sebagai hasil sampingan dari pengamatan gempabumi secara rutin, inipun masih meninggalkan masalah, karena daerah yang dilewati gelombang seismic sangat luas / panjang dari sumbernya hingga tertangkap sensor gempabumi.

 Proses gempabumi sampai ini banyak dijelaskan dengan teori elatic rebound, yang mengatakan bahwa daerah pusat gempa akan mengalami ‘patah’ saat terjadi gempabumi, sebelumnya mengalami penumpukan stress dan setelah gempabumi akan mengalami proses kembali ke keadaan semula, dan tentu meninggalkan cacat akibat patahnya saat gempa dan meninggalkan patahan di tempat tersebut.

Sejalan dengan hal itu, maka akan terjadi proses fisis perubahan energy, gelombang dan medan pada daerah yang mengalami penumpukan energy stress yang selanjutkan kita sebut sebagai pusat gempabumi. Perubahan dari kualitas dan kuantitas energi, gemombang dan medan tersebu yang digunakan untuk memprediksi gempa bumi secara fisis.

Bila kita perhatikan gerakan lempeng tektonik yang tidak pernah berhenti membuat proses saling menekan diantara lempeng, maka di daerah penumpukan stress tersebut akan terjadi pengulangan penumpukan setelah energy terlepas karena material sudah tidak mampu lagi menahan energi tersebut. Pelepasan energi ini dapat berupa getaran, energy suara maupun energy cahaya, seperti gempa-gempabumi yang terjadi di pantai selatan Jawa Barat yang sering disertai energi suara berupa gemuruh dan energi cahaya, berupa kingkilapan.

Proses fisis tersebut maupun statistic data kejadian gempabumi menunjukkan di daerah yang pernah terjadi gempabumi, suatu saat akan terjadi gempabumi dengan kekuatan sama dengan kekuatan maksimum gempa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Ini menggiring pemikiran kita untuk mengatakan bahwa gempabumi kejadiannya berulang. Mengingat seperti telah dikatakan di dtas bahwa bimi merupakan laboratorium yang tidak terisolasi banyak factor yang akan berperan dalam proses perulangan ini, hingga hitungan statistic sangat sering tak cocok untuk menghitung periode ulang gempa di suatu daerah yang gempagenic.


Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa secara proses fisis maupun data statistic menunjukkan bahwa didaerah gempagenic, peristiwa gempabumi akan terjadi secara berulang. Kejadiannya akan dipengaruhi kondisi fisis batuan didaerah tersebut saat akumulasi energi terjadi, sehingga tidak mulus dengan periode ulang tetap antara satu gempabumi ke gempabumi berikutnya, terlebih kejadiannya dapat dikatakan sangat jarang perhitungan ststistik terhadap periode ulang gempabumi juga sangat besar standar variasinya.

Proses fisis yang mendahului gempabumi dalam skala energi, gelombang dan medan memungkinkan ilmuwan untuk mengetahui akan kehadiran gempabumi di suatu daerah gempagenic, namun mengingat beragam dan ketidak homoginan kulit bumi disuatu tempat dan tempat lainnya menyulitkan untuk melakukan prediksi dengan tepat, terutama untuk waktu kejadiannya.

Dengan demikian gempabumi secara umum berdasarkan proses fisis gempabumi dapat dikatakan dapat diprediksi, namun sampai saat ini para pakar belum mampu menentukan kapan watu akan terjadinya puncak akumulasi energy di daerag gempagenic tersebut, yang akan dilepas sebagai energy gempagumi.

Jadi kita yang bermukim di sekitar daerah margin lempeng tektonik, sudah sepatutnya waspada terhadap bencana yang diakibatkan oleh peristiwa alam gempabumi ini, namun tidak perlu menjadi paranoid terhadap prediksi-prediksi yang dibuat oleh ‘pakar-pakar’ yang mencoba memprediksi gempabumi  akan terjadi di suatu daerah.  Mari kita membiasakan diri hidup di daerah bencana, memahami karakter, maupun cara-cara aman dalam menghadapi bencana tersebut bila dia hadir, termasuk mengetahui cara mengadaptasi, dan memitigasi kejadiannya, dengan tetap tenag serta berfikir rasional.

0 komentar:

Posting Komentar