Senin, 29 Maret 2010

Rumit, Pola Banjir Jalur Jawa-Sumatera

Bencana yang terjadi selama musim hujan ini sepanjang jalur Jawa-Sumatera terasa meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya, bila dibandingkan dengan musim-musim hujan sebelumnya. Selain itu juga terlihat adanya pola yang jelas tentang modus bencana, khususnya bencana yang terkait dengan peningkatan volume air tanah dan permukaan limpahan air hujan.
Pola bencana tersebut memiliki kelompok dan jalur tersendiri, yakni mengikuti kondisi geografis dan geologis setempat. Pertama, di belahan selatan Jawa dan belahan barat Sumatera yang menonjol adalah bencana banjir bandang serta tanah longsor sepanjang kawasan Padang, Tapanuli, Alas-Gayo, tanah ambles/terban di Cianjur, Sukabumi bagian selatan, dan Tanggul Jember. Sedangkan jenis yang lain bahkan masih berlangsung sepanjang pantai timur Sumatera, yakni banjir genangan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan beberapa daerah di pantai utara Jawa, seperti sebagian daerah pantai Jakarta (Angke, Pluit, Pademangan), Karawang, dan daerah pantai yang memang merupakan langganan banjir di Jateng dan Jatim.
Banjir genangan ini ditandai dengan pengendapan material erosi yang cukup tinggi, seperti yang terjadi di pantai Pedes, Karawang, yang muaranya tertutup lumpur sehingga menyulitkan turun dan mendaratnya neleyan setempat.
Tentu timbul pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi? Untuk memahami kedua kejadian itu, kita coba meninjau kondisi geografis serta sepintas struktur geologis tanah permukaan daerah setempat.

Sulit Dipantau
Kondisi geografis secara umum daerah Sumatera dan Jawa memiliki pola yang sama. Di belahan selatan ditandai kompleks pegunungan dengan kompleks Bukit Barisan di Sumatera dan beberapa kompleks pegunungan di Jawa yang gugusnya tidak sejelas di Sumatera.
Kondisi di belahan ini memiliki topografi yang terjal dengan batuan beku sebagai batuan dasar dari batuan permukaan yang juga produk vulkanik dengan ketebalan lapisan yang tipis. Sehingga sepanjang jalur ini kebanyakan budidaya yang dilakukan adalah perkebunan dan pertanian dataran tinggi.
Pantai di bagian selatan ini sebagian besar curam dengan batuan keras menghadang ombak ganas, karena berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Pertemuan antarlapisan, yaitu lapisan permukaan dengan lapisan dasar yang beda densitasnya besar, menyebabkan rendahnya sedimentasi. Sehingga faktor cuaca mudah menganggu pelapukannya pada kejadian ekstrem atau pergeseran amplitudo yang tinggi seperti pada kemarau silam.
Kondisi tersebut sangat mudah longsor terutama yang berada pada kemiringan topografi yang terjal sebagai longsoran gravitasi pada saat hujan tiba. Jarangnya pori lapisan permukaan menampung lebih banyak massa air serta beda densitas yang ada menjadikan aliran air secara mudah merongrong pertemuan antarlapisan. Selanjutnya memperkecil friksi antarlapis, sehingga memudahkan longsornya lapisan yang ada di atasnya.
Pada bagian ini ditandai juga oleh batuan berkapur yang biasa mempunyai gua kapur dengan stalaktit dan stalagmite serta aliran air di bawah tanah. Sifat kapur sangat mudah bereaksi dengan air, sehingga perkembangan aliran sungai bawah tanah mudah sekali terjadi. Perkembangan sungai ini merongrong kekuatan atap sungai.
Peningkatan beban akibat massa air pada musim hujan di lapisan atas atap sungai menyebabkan terjadinya tanah ambles atau tanah terban di sana. Bencana ini belakangan terjadi di Sumatera Barat, Cianjur, salah satu jalan protocol di Bandung, Tanggul Jember, dan pada tahun-tahun terakhir beberapa terjadi di Blitar, Jawa Timur.
Gejala awal kejadian terakhir ini sangat sulit dipantau mata telanjang, sehingga kejadiannya terasakan secara tiba-tiba dan tepi terbannya biasanya hampir rata dan vertikal.

Sangat Sempit
Secara panjang lebar, kondisi pantai timur Sumatera serta pantai utara Jawa yang terkait dengan bencana banjir genangan yang terasakan lebih intensif terjadi pada musim hujan di kawasan ini diuraikan pada Suara Pembaruan (19/01/92). Namun untuk dapat melihat perbedaannya dengan belahan lainnya tidak ada salahnya kita tinjau kembali secara singkat.
Kawasan ini secara umum merupakan dataran dengan lapisan sedimentasi dengan banyak sungai yang bermuara di sana, sehingga menjadikan belahan ini – khususnya yang ada di Jawa – merupakan lumbung beras utama kita. Sesuai karakter sedimen yang mudah tererosi, maka penumpukan material erosi terjadi sepanjang pantai dan muara. Hal ini menjadikan air laut pantai tersebut selalu kekuningan (keruh) serta mengalami pendangkalan secara cepat.
Bibir pantainya sangat landai, karena selalu tumbuh maju akibat pengendapan material erosi yang terbawa. Lihat saja peta Pulau Jawa dan perhatikan posisi kota Semarang yang mulanya persis di pantai sekarang sudah jauh masuk ke darat.
Pendangkalan tidak saja terjadi di sepanjang pantai, tetapi juga di sepanjang badan sungai sehingga menyulitkan aliran transportasi air, terlebih pada saat debit air besar, seperti pada musim hujan saat ini.
Kondisi itu mengakibatkan mudahnya terjadi genangan air, terlebih pada alur berkelok-kelok atau percabangan sungai. Keadaannya bertambah parah bila terjadi pada waktu laut pasang. Terkurungnya Laut Jawa serta Selat Malaka sebagai penglepasan sungai-sungai tersebut mempercepat awal genangan serta memperlama waktu genangan.
Sebagai contoh banjir genangan Riau, Palembang, dan Jambi kali ini terjadi hampir selama dua minggu lebih yang diawali bertepatan dengan hadirnya pasang purnama (17/12/91) serta belum surut hingga pasang bulan mati (3/1/92). Kelakuan Laut China Selatan dengan pasang beresonansi diduga sangat berpengaruh terhadap ketinggian air laut di pantai yang menyulitkan aliran di muara. Dan tentunya karena diawali hujan berkepanjangan selain penurunan kualitas lahan yang dirusak manusia sehingga tidak mampu menyeimbangkan neraca air hujan.
Hal lain yang menambah rumit aliran massa air ini adalah bentuk laut di sepanjang alur ini yang tertutup dan hanya dihubungkan selat sempit dengan samudera lepas. Samudera Hindia hanya dihubungkan Selat Sunda yang tergolong sempit dan dangkal (karena masih kondisi dangkalan Sunda) serta Selat Bali yang juga sangat sempit, sedangkan arus dari Samudera Hindia tidak jarang lebih kuat.

Perlu Hati-hati
Dengan perbedaan kondisi geografis serta geologis yang sangat bertolak belakang antara belahan selatan dan belahan utara Jawa atau belahan barat dan timur Sumatera menyebabkan laju aliran sungainya atau air tanahnya berbeda pula. Di selatan deras, sedangkan di utara agak lamban, sehingga pola banjir yang disebabkannya pun berbeda. Yang satu banjir bandang dan yang lain banjir genangan.
Keduanya merusak lingkungan, karena banjir bandang dan tanah terban mengakibatkan tanah longsor. Kejadiannya tidak berkepanjangan serta penanggulangannya relatif lebih cepat. Lokasi kejadiannya sulit diperkirakan, sehingga dapat saja terjadi di tengah pemukiman, pegunungan, atau di daerah produktif seperti yang biasa terjadi di Jember.
Sedangkan banjir genangan umumnya menggenangi daerah yang relatif rendah sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) dan muara sungai, sehingga mudah ditentukan lokasinya dan keadaan waspada pun gampang dipersiapkan. Kejadiannya melalui perkembangan yang relatif lama melanda daerah yang luas. Kerugian yang diderita umumnya berupa tergenangnya areal usaha, baik pertanian maupun usaha lainnya, di daerah tersebut yang akan macet total selama genangan terjadi.
Untuk menghadapi keadaan seperti ini hendaknya pola modernisasi pada teknologi pemukiman setempat harus hati-hati. Jangan sampai apa yang dialami masyarakat sepanjang DAS Batanghari dan Kampar yang meninggalkan pola rumah panggungnya sangat kesulitan dalam menghadapi banjir genangan terakhir ini. Mungkin masyarakat terdahulu sudah mengantisipasi akan adanya banjir serupa, sehingga konstruksi bangunan di sana sebelumnya berupa rumah panggung.
Untuk menghindari kehancuran di daerah yang sering mengalami tanah terban memang agak sulit memperkirakannya, kecuali langkah penyelamatan lingkungan dengan melestarikan lingkungan sekitarnya dapat dilakukan secara terus menerus. Kejadiannya susah dicegah, paling-paling masyarakat yang mengadakan aktivitas di daerah rawan terban ini perlu berhati-hati, khususnya pada saat memasuki musim penghujan ini, agar tidak jatuh korban jiwa.

Dimuat di harian Suara Pembaruan edisi Minggu tanggal 02 Februari 1992.

0 komentar:

Posting Komentar